Soal Pindah Agama, Mayoritas Ilmuwan Barat Juga Hijrah
VIVA – Putri Sunan Kalijaga, Salmafina, menghebohkan publik dengan dugaan telah berpindah keyakinan, dari seorang Muslim menjadi penganut Nasrani. Kabar ini mencuat setelah foto dirinya menggunakan kalung salib beredar di media sosial.
Ngomong-ngomong soal pindah agama, tentu saja ini bukan hal yang baru, meski selalu kerap menjadi sorotan. Apalagi jika dilakukan oleh figur publik. Belum lama ini, selebritas Deddy Corbuzier berikrar menjadi seorang Muslim, setelah mempelajari Islam sejak lama.
Di Indonesia sendiri, kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai keyakinannya mendapat perlindungan dari undang-undang. Tak ada paksaan untuk mempercayai agama tertentu, karena ini merupakan salah satu hak asasi manusia.
Di kalangan ilmuwan Barat, pindah keyakinan juga menjadi isu. Sebagian mereka sebelumnya tak mempercayai adanya Tuhan atau dikenal juga dengan istilah ateis, namun kemudian hijrah mengambil keputusan besar dalam hidupnya dengan mengambil keyakinan tertentu.
Sebuah artikel di The Guardian, 27 Agustus 2018, melaporkan bahwa di dunia Barat keimanan terhadap agama mengalami peningkatan. Artikel itu berjudul ‘Agama: Mengapa Keimanan Menjadi Semakin Populer’ yang memuat sebanyak 84 persen populasi global mengidentifikasikan diri pada agama. Tak heran jika hal ini mendapat sorotan, karena berbeda dengan Indonesia yang memiliki asas Ketuhanan Yang Maha Esa, Barat menganggap ateisme adalah legal.
Salah satu contohnya, iklan bus di Inggris, bertuliskan: "There's probably no God. Now stop worrying and enjoy your life". (Tuhan kemungkinan tidak ada. Berhenti merasa khawatir dan nikmati hidupmu."
Akan tetapi, survei baru yang diterbitkan pada tahun 2017, menyebut bahwa jumlah ilmuwan ateis di Inggris telah mencapai minoritas.
Dalam survei yang dikutip dari Church Times tersebut, diterangkan bahwa di antara responden Inggris, hampir setengahnya mengkategorikan diri mereka sebagai religius dan spiritual. Sementara 21 persen mengatakan mereka penganut agnostik dan 25 persen ateis.
Survei tersebut dilakukan terhadap 3000 pemimpin sains, ahli medis, dan teknisi oleh lembaga survei Ipsos MORI untuk Jaringan Ilmiah dan Medis (Scientific and Medical Network): sebuah organisasi internasional berjanji untuk melakukan penyelidikan berbasis bukti ke dalam tema yang menjembatani sains, spiritualitas, dan kesadaran.
Masih tentang hasil studi, sekitar satu dari tiga peserta Inggris, dan seperempat dari mereka di Perancis dan Jerman setuju, bahwa agama atau spiritualitas penting bagi cara mereka menjalani kehidupan.
Di ketiga negara tersebut, orang-orang dengan pendidikan lebih tinggi dijelaskan lebih spiritual atau religius daripada mereka yang memiliki kualifikasi pendidikan lebih rendah.
Profesor Eric Priest, ahli matematika dan mantan Presiden Royal Astronomical Society, mengatakan bahwa survei tersebut memperkuat penelitian sebelumnya, dimana menunjukkan bahwa sebagian besar ilmuwan "menolak klaim usang oleh Ateis Baru tentang konflik antara sains dan spiritualitas".
Menurut Eric Priest, di luar ketidakpercayaan pada Tuhan, banyak ilmuwan memiliki pandangan yang lebih halus, bernuansa hubungan, dan mengakui bahwa pertanyaan, imajinasi, kreativitas, alasan, iman, dan komunitas adalah fitur umum dari ilmu pengetahuan dan agama.
Sementara itu, The Revd Keith Ward, mantan Profesor Regius Divinity di Oxford dan seorang ahli tentang hubungan antara sains dan agama, mengatakan: "Ini adalah survei yang dibangun dengan baik yang menimbulkan keraguan pada pernyataan bahwa kebanyakan ilmuwan menganggap pekerjaan mereka tidak sesuai dengan keyakinan agama."
"Fakta-faktanya jauh lebih kompleks, dan bagus untuk memiliki bukti bahwa ini benar," tutur Ward. (ann)