Ilmuwan Bisa Prediksi Perceraian dari 8 Hal Ini
VIVA – Isu perceraian selebritis Korea, Song Joong Ki dan Song Hye Kyo, bikin para fans syok. Hal ini bisa dimengerti mengingat usia pernikahan mereka baru seumur jagung.
Sepertinya juga masih hangat dalam ingatan, bagaimana wajah sumringah pasangan aktor dan aktris itu usai mengikrarkan janji suci pada 31 Oktober 2017 lalu. Dukungan para fans pada pernikahan mereka pun tercermin dalam julukan Song Song Couple, seolah mereka adalah jodoh serasi yang memang ditakdirkan bersatu selamanya.
Akan tetapi, apa pun itu, Song Joong Ki telah mengumumkan gugatan cerainya pada sang istri. Terlepas dari permasalahan rumah tangga mereka, bahtera perkawinan tak selamanya melewati jalanan yang mulus. Konflik adalah hal yang tak terhindarkan, dan sebagian pasangan memilih berpisah, move on, kemudian melanjutkan masa depan.
Ngomong-ngomong soal perceraian, para ilmuwan sosial pun rupanya pernah melakukan sejumlah penelitian terkait. Business Insider pernah membuat laporan pada 11 Maret 2018, bahwa ada delapan faktor yang dapat memprediksi suatu pernikahan akan berakhir pada perceraian.
1. Menikah di usia remaja atau setelah umur 32 tahun
Waktu terbaik untuk menikah adalah ketika sudah merasa siap, dan telah menemukan seseorang yang bersedia menghabiskan sisa hidup bersama. Tanpa adanya dua hal ini, peneliti menyarankan, sebaiknya jangan menikah dulu.
Penelitian menunjukkan, pasangan yang menikah di usia remaja atau di atas 30-an memiliki risiko lebih besar untuk bercerai daripada mereka yang mengikat janji suci di usia 20-an dan awal 30-an. Antara keduanya, pernikahan usia remaja memiliki potensi cerai lebih tinggi.
Pernyataan tersebut menurut penelitian yang dipimpin oleh Nicholas Wolfinger, seorang profesor di Universitas Utah. Setelah usia 32 tahun, Wolfinger menemukan, peluang perceraian meningkat sekitar 5 persen setiap tahun.
Wolfinger menuliskan dalam sebuah posting blog di Institute for Family Studies, "Untuk hampir semua orang, akhir dua puluhan tampaknya menjadi waktu terbaik untuk mengikat janji suci."
2. Suami yang tidak bekerja penuh waktu
Sebuah studi Harvard 2016, yang diterbitkan dalam American Sociological Review, menunjukkan bahwa bukan keuangan pasangan yang memengaruhi peluang perceraian, melainkan pembagian kerja.
Status pekerjaan istri, bagaimanapun, tidak banyak memengaruhi peluang perceraian pasangan.
Peneliti menyimpulkan bahwa stereotip pencari nafkah adalah pihak laki-laki masih sangat hidup, dan dapat memengaruhi stabilitas perkawinan.
3. Tidak menyelesaikan sekolah menengah
Tampaknya agak tidak masuk akal, ya, jika
pasangan yang putus sekolah di tingkat menengah dituding cenderung bercerai. Tapi, penelitian menunjukkan hal itu.
Sebuah posting di situs web Biro Statistik Tenaga Kerja (Bureau of Labor Statistics) menyoroti hasil dari National Longitudinal Survey of Youth (1979), yang melihat pola perkawinan dan perceraian dari sekelompok baby boomer muda. Tulisan itu berbunyi:
"Peluang pernikahan yang berakhir dengan perceraian lebih rendah bagi orang-orang yang berpendidikan lebih tinggi. Lebih dari setengah pernikahan orang-orang yang tidak menuntaskan sekolah menengah berakhir dengan perceraian - dibandingkan dengan sekitar 30 persen pernikahan para lulusan perguruan tinggi."
Hal tersebut mungkin ada hubungannya dengan fakta bahwa tingkat pendidikan rendah memprediksi pendapatan yang rendah pula - yang pada gilirannya terkait dengan kehidupan yang serba penuh tekanan.
Seperti yang dikatakan psikolog Eli Finkel kepada Business Insider:
"Apa yang saya pikir sedang terjadi adalah sangat sulit untuk memiliki pernikahan yang bahagia dan produktif, ketika keadaan hidup Anda begitu penuh tekanan dan ketika kehidupan sehari-hari Anda melibatkan, katakanlah tiga atau empat rute bus untuk mencapai pekerjaan Anda."
4. Menganggap rendah pasangan
John Gottman, seorang psikolog di University of Washington dan pendiri Gottman Institute, menyebut empat perilaku yang menyebabkan hubungan menemui 'kiamat'-nya.
- Penghinaan: Melihat pasangan lebih rendah dari dirinya.
- Kritik: Berusaha mengubah perilaku pasangan dengan kritik.
- Pertahanan diri (defensif): Menganggap diri sendiri sebagai korban saat menghadapi masa sulit.
- Stonewalling: Memblokir percakapan atau menolak berkomunikasi.
5. Terlalu sayang saat masih pengantin baru
Peneliti mengungkap dalam Psychology Today, pasangan yang pernikahannya dimulai dengan kebahagiaan romantis sangat rawan perceraian karena intensitas seperti itu tak akan bertahan lama. Percaya atau tidak, pernikahan yang ketika masa awal memiliki romansa lebih sedikit biasanya memiliki masa depan yang lebih menjanjikan."
6. Akumulasi stres harian
Sebuah makalah tahun 2007, yang diterbitkan dalam Journal of Social and Personal Relationships, meneliti faktor-faktor yang menyebabkan perceraian pada pasangan Eropa dan menemukan bahwa stres sehari-hari adalah alasan penting di balik keputusan perceraian pada banyak pasangan.
Bahkan persoalan sepele, seperti melupakan janji makan malam bersama atau meletakkan barang sembarangan bisa menciptakan ketegangan di antara pasangan.
7. Menghindari konflik
Ketika pasangan Anda mencoba berbicara dengan Anda tentang sesuatu yang sulit, apakah Anda menghindar?
Sebuah studi 2013, yang diterbitkan dalam Journal of Marriage and Family, menemukan bahwa perilaku menarik diri atau menghindar dari suami memprediksi tingkat perceraian yang lebih tinggi. Kesimpulan ini didasarkan pada wawancara para peneliti dengan sekitar 350 pasangan pengantin baru yang tinggal di Michigan.
8. Menilai hubungan Anda secara negatif
Pada tahun 1992, Gottman dan peneliti lain di University of Washington mengembangkan prosedur yang disebut "wawancara sejarah lisan" di mana mereka meminta pasangan untuk berbicara tentang berbagai aspek hubungan mereka. Dengan menganalisis percakapan, para peneliti dapat memprediksi pasangan mana yang sedang menuju perceraian.