Pascapemilu, Jangan Harap Media Sosial Bebas Hoax dan Hate Speech
- ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
VIVA – Keinginan sebagian besar netizen bahwa pascapemilu media sosial kembali menyenangkan nampaknya tidak bisa terkabul.
Sebab, lima tahun lalu, setelah penyelenggaraan pilpres masih ada penyebaran berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) di media sosial.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, Septiaji Eko Nugroho, di Jakarta, Senin, 8 April 2019.
"Pak Husni Kamil (mantan Ketua KPU) itu dua tahun sesudah dia ngurusin Pilpres dan meninggal dunia, tetap di media sosial dia masih menerima hujatan enggak karu-karuan. Ngeri sekali lihatnya," kata dia.
Septiaji mengatakan banyak arus informasi beredar pascapemilu lima tahun lalu. Salah satunya mengenai kecurangan.
Saat itu sekitar 2.900 KPPS melanggar dan ada beberapa di antaranya merupakan pelanggaran pidana. Namun jumlah itu akhirnya digeneralisir oleh pengguna media sosial.
"Masalahnya, di medsos itu, satu hal kecil di suatu tempat, diviralkan. Jadi seolah-olah semuanya curang. Ini penyakit kita, generalisir," tegasnya.
Septiaji mengatakan masalah hoax bukan lagi tentang benar ataupun salah. Akan tetapi memang sudah sampai tidak percaya satu sama lain.
Menurutnya, sebelum ada proses rekonsiliasi, hoax akan terus muncul. Mulai dari perhitungan suara hingga keputusan akan ada persepsi-persepsi.
Akar masalah dari hoax bukan mengenai pemilu. Namun, menurut Septiaji, karena tidak rukun dan menghargai perbedaan pendapat. Jadi, sebelum itu selesai maka media sosial tetap akan ramai konten negatif.
"Enggak mungkin (media sosial adem ayem) selama akar masalah belum diselesaikan. Akar masalah bukan pemilu, itu hanya salah satu pemantik. Akar masalah kita tidak rukun," papar Septiaji.