'Tsunami' di LIPI Bakal Matikan Ilmuwan di Masa Depan?
- bbc
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dilanda kisruh internal sejak awal tahun ini.
Semua bermula ketika Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Laksana Tri Handoko, memberlakukan kebijakan reorganisasi yang menurutnya akan berujung pada peningkatan produktivitas peneliti.
Namun sejumlah pihak yang menolak kebijakan tersebut menudingnya hanya akan mematikan para ilmuwan di masa depan karena menjauhkan peneliti dari objek penelitiannya.
Salah satu civitas LIPI dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Henny Warsilah, merujuk pada keputusan Laksana Tri Handoko yang menghapus unit penelitian di sejumlah daerah khususnya bagian timur Indonesia seperti Biak, Tual, dan Wamena dengan dalih memakan biaya besar.
Padahal menurutnya, keberadaan unit penelitian itu sejalan dengan visi Presiden Joko Widodo tentang kelautan.
"Alasannya karena high cost padahal tidak bisa digantikan high cost dengan kehadiran negara dan itu marwah ilmu pengetahuan. Kita harus perbarui ilmu pengetahuan kalau tidak maka akan diambil asing kekayaan kita," ujar Henny Warsilah kepada BBC News Indonesia, Selasa (12/03).
"Kalau tidak ada orang yang jaga, yang bertanggung jawab pada sampel siapa? Ini kan pembunuhan terhadap ilmu itu sendiri. LIPI sebagai pemegang marwah pengetahuan negara dikerdilkan. Ini adalah kematian ilmuwan di masa depan," sambungnya.
Persoalan lain yakni ditariknya para peneliti dari Kebun Raya Bogor ke lokasi lain di luar kawasan. Padahal, kata dia, Kebun Raya adalah laboratorium bagi para peneliti konservasi tumbuhan yang tidak dapat dipisahkan.
"Di situ pusat keragaman hayati, kalau sekarang ditarik (penelitinya) mau dijadikan apa? Taman wisata? Kalau begini, keragaman hayati akan punah karena pemeliharannya terbengkalai," ucap Henny.
Lebih jauh ia mengatakan, pemusnahan ribuan tesis dan disertasi dari perpustakaan Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PPDI) merupakan buntut dari buruknya rencana reorganisasi.
Menurutnya, dari 32.000 koleksi karya ilmiah yang ada mustahil digitalisasi dalam waktu singkat.
"Dibilang didigitalisasi, tapi orang dalam bilang baru 10-20% karena digitalisasi butuh anggaran, tidak bisa sebentar begitu saja."
"Makanya kalau ditanya ada apa di LIPI? Saya bilang, `ada tsunami di LIPI`. Kacau dari berbagai aspek," ucapnya dengan nada meninggi sembari mendesak Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko, agar mundur dari jabatannya setelah muncul mosi tidak percaya dari 65 civitas LIPI.
Kisruh di internal tubuh LIPI ini bermula dari keputusan Laksana Tri Handoko melakukan reorganisasi pada Januari 2019 dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan pengoptimalan sumber daya.
Dari catatannya, saat ini ada 4.500 pegawai di LIPI dan lebih dari setengahnya merupakan pegawai administrasi yang menurutnya memberatkan anggaran LIPI.
"Sebenarnya yang kami lakukan reorganisasi fokus pada perubahan proses bisnis, administrasi pendukung. Dimana dulu di tiap pusat penelitian ada administrasi, sehingga kalau dilihat secara rata-rata SDM administrasi itu 60%, peneliti hanya 40%," ujar Laksana Tri Handoko menjelaskan.
"Tujuan reorganisasi itu fokus di penelitian, jadi anggaran sudah pasti untuk penelitian bukan untuk yang lain-lain. Sekarang kan susah, ini anggaran untuk penelitian atau untuk pendukung administrasi?" sambungnya.
Dalam rancangan reorganisasi yang ia bentuk, sejumlah unit penelitian di daerah dipangkas dan ada pula yang dikembalikan ke induknya di pusat.
Dia mencontohkan unit penelitian di sejumlah daerah khususnya bagian timur Indonesia seperti Biak, Tual, dan Wamena. Menurutnya biaya untuk mengongkosi operasional unit penelitian di sana tak sejalan dengan hasilnya.
"Dulu di sana ada stasiun, lebih kecil dari unit tapi dinaikkan jadi unit penelitian tapi over cost bisa sampai Rp1 miliar. Itu nggak bisa kayak begitu, delivery cost lebih mahal dan penelitian enggak berkembang di sana," jelasnya.
Hal lain yang menjadi catatannya yakni tak produktifnya para peneliti menghasilkan penelitian atau jurnal ilmiah. Semestinya, kata dia, dalam setahun para peneliti yang berjumlah 2.000 orang minimal menerbitkan 1.500 penelitian.
Namun target itu tak tercapai karena minimnya dana dan tak adanya ukuran kinerja atau Key Performance Indicator .
"Kita mau berlakukan Key Performance Indicator , sebab selama ini nggak pernah ada. Dunia penelitian kok nggak ada indikatornya? Itu saja sudah aneh, itu tidak sesuai standar global," tukasnya.
"Itu yang harus saya berlakukan. Kita kan dibayar masyarakat dan masyarakat berhak bertanya."
Untuk tahun ini, pemerintah menganggarkan uang sebesar Rp1,5 triliun untuk mendanai penelitian di LIPI. Namun dana itu, menurut Laksana, terlalu kecil jika merujuk standar UNESCO yang semestinya mencapai Rp6 triliun. Karenanya, ia berencana menambah anggaran penelitian dari hibah lembaga-lembaga di dalam dan luar negeri.
Bagaimanapun, kata Laksana, ia akan tetap menjalankan reorganisasi meski dikritik civitas LIPI. Sementara perintah Menteri Riset dan Teknologi agar memoratorium kebijakannya, akan dipatuhi hingga kondisi kondusif.
"Ini ditunda dulu lah sampai April atau Mei, setelah itu dilanjutkan."
Kemenristekdikti segera pertemukan dua pihak
Sekretaris Jenderal Kemenristekdikti, Ainun Na`im, menyebut bakal mempertemukan pihak-pihak yang menolak kebijakan reorganisasi dan Kepala LIPI Laksana Tri Handoko untuk menyamakan pandangan.
Menurutnya, keputusan melakukan reorganisasi sudah direstui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan hal itu sejalan dengan perintah Presiden Joko Widodo yang menginginkan adanya produktivitas peneliti di Indonesia.
"Kalau direorganisasi, over cost berkurang jadi makin efisien. Anggaran yang ada fokus ke penelitian, otomatis produktivitas lebih tinggi. Arahan Persiden begitu budget harus berorientasi program ke outcome," jelasnya.
Dia juga mengatakan moratorium reorganisasi ini dilakukan sampai ada kesamaan tujuan di antara civitas LIPI.
"Supaya semua pihak paham, punya pandangan yang sama. Kalau belum ada pandangan yang sama, didiskusikan dulu,".