Grab dan Gojek Sikat 'Tuyul' Peliharaan Ojol
- Dokumen Gojek
VIVA – Industri ride-hailing di Indonesia kian berkembang pesat dari hari ke hari. Saat ini, diperkirakan ada jutaan mitra pengemudi yang berada di bawah naungan Grab dan Go-Jek, dua pemain besar di industri ride-hailing di Indonesia.
Di tengah perkembangannya yang begitu pesat, industri ride-hailing juga menyimpan masalah yang tak sedikit. Masalah yang kerap terjadi biasanya berbentuk tindak kecurangan (fraud). Hal itu tentu menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi konsumen maupun bagi pemilik layanan.
Maraknya fraud yang terjadi belakangan ini dijadikan topik riset oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan Spire Research and Consulting. Dalam penelitian mereka terungkap, praktik fraud masih menjadi momok yang belum hilang.
Dalam melakukan penelitian, INDEF melakukan riset kepada 516 mitra pengemudi dari dua perusahaan transportasi online terbesar, yaitu Grab dan Gojek. Survei mengenai order fiktif transportasi online ini dilakukan pada 16 April-16 Mei 2018 di Jakarta, Bogor, Semarang, Bandung, dan Yogyakarta.
Menurut penelitian INDEF yang dirilis pada tahun lalu, menunjukkan bahwa 42 persen mitra pengemudi percaya bahwa Gojek adalah platform di mana order fiktif paling banyak terjadi. Sementara 28 persen mitra pengemudi mengatakan bahwa di Grab-lah order fiktif lebih banyak terjadi.
“Temuan survei ini cukup mengejutkan. Selain merugikan perusahaan ride-hailing, penghasilan para mitra pengemudi yang bekerja dengan jujur juga terdampak oleh perilaku ini,” kata Berly Martawardaya, Direktur Program INDEF, dalam keterangannya, Sabtu, 9 Februari 2019.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan Spire melibatkan 40 pengemudi dan 280 konsumen secara acak dalam skala nasional.
Hasil survei memprediksikan sebanyak 30 persen dari order yang diterima Gojek terindikasi fraud. Angka itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan persentase fraud Grab yang diperkirakan hanya 5 persen.
Angka tersebut berdasarkan estimasi jumlah order fraud dibandingkan jumlah total order yang diterima.
Menurut Jeffrey Bahar, Group Deputy CEO Spire Research and Consulting, hasil riset perusahaannya dapat menjadi gambaran bagaimana tindakan fraud sudah menjadi sesuatu yang cukup umum.
“Perkiraan ini masuk akal karena kami juga melakukan survei terhadap para pengemudi transportasi online. Di 2018, dari para pengemudi Gojek sendiri yang kami survei, 60 persen di antaranya mengaku pernah melakukan fraud untuk meningkatkan jumlah order mereka yang akan berpengaruh pada bonus dan pendapatan harian yang mereka terima,” ungkapnya belum lama ini.
Terkait survei tersebut, pihak Gojek angkat bicara. Michael Reza Say, VP Corporate Affairs Gojek mengungkapkan bahwa 40 sampel responden tidak dapat merepresentasikan jutaan driver online di Indonesia.
Lebih lanjut, Jeffrey pun membantah tanggapan miring soal metodologi yang perusahaannya lakukan. Ia menegaskan, pihaknya menggunakan praktek riset standar, seperti melakukan pendekatan terhadap sumber-sumber terkait dalam industry.
“Kami melakukan analisis terhadap kecurangan yang sudah kami jelaskan dalam press release dengan menggunakan tiga metodologi yang berbeda (tidak hanya satu metodologi). Pertama, face to face interview atau wawancara tatap muka, survei kuantitatif, dan sumber – sumber internal serta eksternal dari industri terkait. Interview dengan driver termasuk dalam bagian metodologi wawancara tatap muka untuk mendapatkan informasi mendalam mengenai bagaimana tindak fraud atau kecurangan dilakukan dan bentuk atau jenis kecurangan apa yang paling sering dilakukan,” bebernya.
Pihak Frontier, Lembaga riset terkenal ini pun punya pandangan lain di tengah kisruh hasil riset tersebut. “Melihat hasil riset dua lembaga tadi hasilnya cukup berbeda jauh. Artinya error masih cukup besar. Error ini bisa dipengaruhi oleh jumlah sampel, atau cara pengambilan sampel yang berbeda dari dua lembaga tersebut. Tetapi kalau melihat hasilnya, bisa disimpulkan Gojek lebih tinggi dari Grab untuk tingkat fraud-nya,” pungkas Research Director Frontier Group, Apipudin.
Menanggapi hasil riset tersebut, pihak Grab yang diwakili oleh Tri Sukma Anreianno selaku Head of Public Affairs Grab Indonesia, mengatakan bahwa Grab berhasil menekan tindakan fraud hingga kurang dari 1 persen hingga akhir 2018. “Kami telah berhasil menurunkan tingkat kecurangan secara signifikan dari platform kami di Indonesia pada semester terakhir 2018 hingga di bawah 1 persen. Kami terus melakukan penyempurnaan agar segala bentuk kecurangan terhadap sistem dapat dieliminasi",” ujarnya.
Sejauh ini, Grab telah melakukan berbagai inisiatif untuk memerangi tindakan fraud. Misalnya saja, Grab telah menerapkan algoritma Machine Learning yang bisa mengidentifikasi potensi kecurangan mitra pengemudi; memasang alat pendeteksi GPS palsu; serta membuka ruang pelaporan dugaan kecurangan.
Lebih lanjut, Grab Indonesia juga bekerja sama dengan pihak berwajib untuk melakukan penangkapan sindikat besar yang mengelola penipuan dan kecurangan menggunakan akun mitra pengemudi Grab.
Tak hanya itu, Grab terus memperkuat program “Grab Lawan Opik” dengan kepolisian. Dalam program ini, Grab telah berhasil menangkap sindikat dan mitra pengemudi yang telah terbukti melakukan kecurangan di beberapa kota, seperti Jakarta, Makassar, Semarang, Surabaya, dan Medan.