Cerita Rumitnya Proses Revisi UU ITE
- VIVA.co.id/Novina Putri Bestari
VIVA – Kementerian Komunikasi dan Informatika tidak mempermasalahkan jika Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE kembali direvisi, setelah sebelumnya hal tersebut dilakukan pada 2014 dan disahkan dua tahun kemudian.
"Kami menghargai setiap pandangan dari siapa pun. Tokoh masyarakat atau LSM/NGO yang menghendaki revisi UU ITE. Itu sah-sah saja," kata Pelaksana Tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ferdinandus Setu, dalam Live Video Tok Tok Kominfo, Rabu, 6 Februari 2019.
Menurutnya, sebagai negara demokrasi, semua pihak diberikan ruang untuk berpendapat, termasuk beda pendapat dengan pemerintah. Namun, ia mengingatkan, mengubah atau merevisi sebuah undang-undang butuh proses panjang.
Pertama, ungkap Ferdinandus, saat penggodokan revisi bukan hanya ada di tangan Kominfo tetapi melibatkan sejumlah pemangku kepentingan atau stakeholder. Di sana akan disimpulkan apakah ada keperluan mendesak untuk sebuah undang-undang direvisi. Setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan naskah.
Kemudian, naskah atau draf ini akan dikirim ke menteri sekretaris negara untuk diteruskan pada presiden. "Setelah di Setneg, kami akan dipanggil lagi untuk sinkronisasi. Lalu, akan diberikan lagi ke presiden untuk dibuatkan surat yang ditujukan ke DPR bersamaan dengan naskah revisi," tuturnya.
Saat di DPR akan dibahas hingga diputuskan di paripurna. Ketuk palu seluruh fraksi bahwa menyetujui, selesai, dan ditandatangani oleh presiden. Maka jadilah undang-undang. "Kalau pun UU ITE direvisi kemungkinan baru akan selesai dua hingga tiga tahun kemudian," tutur Ferdinandus. (art)