Tak Ada Aturan yang Melarang Anggota BRTI dari Operator Telko, Tapi

Kartu SIM untuk ponsel.
Sumber :
  • www.pixabay.com/PublicDomainPictures

VIVA – Sepertiga dari seluruh calon anggota BRTI diduga masih terkait dengan operator telekomunikasi. Walaupun begitu, belum ada aturan yang melarang hal tersebut namun dampaknya diperkirakan akan buruk.

Dikatakan Komisioner Ombudsman RI, Alamsyah Saragih, adanya calon anggota BRTI yang terafiliasi dengan operator tertentu akan membuat potensi benturan kepentingan antara regulator dan operator tersebut. Walaupun dia mengakui tidak ada aturan yang melarang.

"Walaupun tidak ada aturannya, dari prinsip governance value atau tatakelola pemerintahan yang baik, khususnya di regulator, sudah seharusnya pansel dan Menkominfo bisa mempertimbangkan asal muasal dan kedekatan calon KRT BRTI dari unsur operator telekomunikasi," katanya, dalam keterangan, Selasa, 18 Desember 2018.

Hal ini dikarenakan, kata Alamsyah, kerja BRTI  sangat vital karena menyangkut kerahasiaan data perusahaan telekomunikasi, baik tempat mereka bekerja dahulu maupun perusahaan telekomunikasi lain yang akan diawasi. Jika prinsip imparsialitas di BRTI tidak diperhatikan, Alamsyah memperkirakan akan membuat rumit BRTI dalam prsepsi publik. 

"Salah satu kunci dari governance adalah public trust. Public trust diabaikan, itu sudah tak zamannya lagi. Apa lagi di dunia IT. Ombudsman berharap Menkominfo dan panitia seleksi BRTI tak mengabaikan hal ini,” papar Alamsyah.

Memang, jelas dia, operator dapat merekomendasikan KRT yang berasal dari unsur masyarakat. Namun yang bisa direkomendasikan adalah nama-nama public figure yang dianggap layak, independen dan mengerti mengenai industri telekomunikasi. 

"Tujuannya untuk mensupport kepercayaan public kepada badan regulasi," katanya.

Menurut komisioner Ombudsman tersebut, seharusnya sebelum calon KRT BRTI tersebut bergabung menjadi KRT BRTI, harus ada masa jeda beberapa tahun terlebih dahulu. Ini disebabkan tugas vital dari BRTI sebagai regulator yang harus independen dan bisa menjaga kerahasiaan perusahaan telekomunikasi yang diawasinya.

Mantan Anggota Pansel BRTI 2015-2018 yang aktif di berbagai organisasi TIK, Doni Ismanto Darwin juga mengkritisi proses rekrutmen KRT-BRTI ini. Hal yang pertama dikritisi dari seleksi KRT BRTI untuk periode 2018-2021 adalah Kominfo sudah pernah mengumumkan pembukaan seleksi pada April 2018, namun tanpa ada alasan yang jelas mencabut pengumuman itu dari websitenya dan akhirnya memulai proses seleksi di Oktober. 

Lalu, katanya, dari Panitia Seleksi pun terlalu banyak unsur pelaku usaha. Misal dari organisasi operator atau pemain eCommerce. Ini merupakan hal yang lucu karena yang dicari adalah regulator, tetapi kenapa pemain yang mencari wasit ideal bagi pemain itu sendiri. 

"Jika dibandingkan dengan komposisi pansel ketika saya, unsur dari organisasi hanya diwakili satu yakni Ketua Mastel. Harap diingat, pansel hanya memilih nama yang akan disodorkan ke Menkominfo. Dia adalah pemegang hak veto. Biasanya pansel akan memberikan pertimbangan dari nama yang disodorkan tetapi semua keputusan tetap di Menkominfo sebagai pemilik keputusan akhir," ujar Doni kepada Viva.co.id, Selasa, 18 Desember 2018.

Sedangkan terkait nama-nama yang ramai diperbincangkan (10 nama) masuk tahap akhir, Doni mengaku mengenal sebagian dari mereka (karena ada petahana dimana yang juga ikut seleksi tiga tahun lalu), atau sejumlah nama yang memang ikut dalam seleksi tiga tahun lalu.

Bagi Doni, calon yang ada, terutama dari petahana, lebih mudah diukur Key Performance Indicator (KPI) yang mengacu kepada beberapa isu yang langsung berkaitan dengan sepak terjang BRTI tiga tahun belakangan. Misal, kasus hitung ulang biaya interkoneksi, registrasi prabayar, hingga terakhir tunggakan BHP frekuensi operator BWA. 

“Sebagai mantan anggota pansel, terus terang saya merasa terbebani secara moral melihat sepak terjang anggota KRT petahana (2015-2018) karena  di kasus-kasus di atas mengecewakan sekali dalam menjaga kepentingan publik. Saya sering ditanya publik, ini bagaimana BRTI (dalam kasus-kasus itu). Saya jadi sedih, karena ternyata pekerjaan sebagai pansel yang hitungan hari, beban moralnya saya tanggung tiga tahun. Tetapi itu konsekuensi sebuah pilihan," lirihnya.

Namun, kata dia, semua pihak harus secara fair menilai BRTI karena posisnya adalah di bawah Menkominfo. Sayangnya, kesan yang didapat publik untuk periode tiga tahun belakangan ini lebih terkesan sebagai 'Advisor' dari Menkominfo ketimbang menjadi penyeimbang atau penyalur suara publik. 

"Sehingga jika memang ingin regulator yang kuat, harus diubah dulu aturan yang ada, karena terbukti BRTI di bawah Menkominfo rentan terayun-ayun karena kepentingan sang Menteri," katanya.