Sembarangan Daftar Kartu Prabayar, Siap-siap Dicokok Polisi
- ANTARA/Prasetyo Utomo
VIVA – Pelaksanaan registrasi prabayar yang tidak sesuai dengan aturannya ternyata malah menimbulkan banyak masalah. Satu NIK bahkan bisa digunakan untuk mendaftarkan ratusan nomor kartu prabayar. Hal ini membuat pemerintah harus mengambil langkah tegas, termasuk melibatkan kepolisian untuk melakukan penindakan.
Dikatakan Sabirin Mochtar, Direktur Pengendalian Pos dan Informatika Kementrian Komunikasi dan Informatika, dalam keterangan resminya, Senin, 10 Desember 2018, masih banyak NIK yang didaftarkan dengan jutaan nomer prabayar. Bahkan ada anak balita atau orang tua kelahiran tahun 1920 yang didaftarkan dengan lebih seratus nomer. Kominfo juga menemukan kasus dimana satu NIK didaftarkan lebih dari 50 ribu SIM Card dalam satu detik.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Kominfo hingga 30 November 2011, jumlah akses atau hits yang berhasil masuk ke Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (DUKCAPIL) mencapai 1,7 juta perhari. Bahkan setiap hari menunjukkan trend peningkatan. Oleh karena itu dikeluarkanlah surat edaran dan ketetapan BRTI agar kasus terkait penyalahgunaan NIK bisa ditekan.
“Seharusnya dengan skema bisnis berbasis pulsa dan penjualan nomer baru sudah mengalami penurunan. Saya heran juga kenapa hingga saat ini penjualan kartu perdana masih naik,” ujar Sabirin.
Dalam aturan yang dikeluarkan tanggal 21 November yang lalu, melalui surat edaran Nomor 01 tahun 2018 dan Surat Ketetapan Nomor 3 tahun 2008 tentang Larangan Penggunaan Data Kependudukan Tanpa Hak atau Melawan Hukum untuk Keperluan Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi, BRTI mengajak Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) untuk menindak setiap pelanggaran yang terjadi karena menggunakan data kependudukan tanpa hak untuk keperluan registrasi kartu prabayar.
Komisaris Besar Polisi Asep Safrudin, Wakil Direktur Tindak Pidana Siber Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) mengatakan, polisi tidak memiliki niat sedikitpun untuk mengganggu iklim bisnis yang ada di industri telekomunikasi. Mereka hanya ingin agar bisnis yang dijalankan oleh pelaku usaha di industri telekomunikasi tak mementingkan keuntungan semata, tetapi juga harus sesuai dengan koridor hukum yang berlaku di Indonesia.
"Tujuan Polri hadir dalam registrasi prabayar semata-mata untuk menyelamatkan masyarakat agar tak menjadi korban atas kelalaian pelaku usaha dan regulator di industri telekomunikasi. Kehadiran Polri dalam registrasi prabayar ini juga bertujuan mencegah masyarakat menjadi pelaku kejahatan dengan menggunakan kartu prabayar yang didaftarkan dengan NIK yang tidak sah. Melakukan registrasi prabayar atas nama orang lain itu jelas-jelas salah dan melanggar hukum. Ancaman hukumannya juga sangat jelas," kata Asep.
Diakui Asep, untuk mencegah tindak pidana dan menegakkan hukum, Polri tak bisa bekerja sendiri. Mereka membutuhkan dukungan dari Kominfo, BRTI, operator telekomunikasi, pelaku usaha telekomunikasi dan seluruh lapisan masyarakat.
Asep menjelaskan saat ini Polri sudah memiliki data yang akurat dari tingkat outlet hingga pihak provider telekomunikasi yang terindikasi nakal dengan mendaftarkan satu NIK untuk jutaan nomer prabayar. Dengan adanya surat edaran dan ketetapan BRTI tersebut, Polri bisa melakukan penindakan. Peyalahgunaan data kependudukan untuk melakukan registrasi prabayar bisa diancam pidana melalui UU ITE pasal 35 dengan ancaman hukuman 12 tahun.
“Jika ada pihak-pihak yang turut serta membantu tindak pidana penyalahgunaan NIK untuk registrasi prabayar akan diancam KUHP pasal 55. Sehingga jika ditemukan dealer, provider bahkan regulator yang ikut serta dalam penyalahgunaan NIK untuk registrasi prabayar ini akan diancam dengan hukuman pidana. Saat ini Polri tak akan mentolerir pihak-pihak yang menggunakan SIM Card untuk kejahatan atas kelalaian atau atas unsur kesengajaan dari pelaku bisnis telekomunikasi,” kata Asep.
Selain diancam menggunakan UU ITE, penyalahgunaan data kependudukan untuk kegiatan registrasi prabayar juga akan diancam dengan UU Administrasi Data Kependudukan dengan ancaman hukuman paling lama 10 tahun dan denda Rp1 miliar.
Dalam rilis Kementerian Komunikasi dan Informatika, disebutkan jika pada tanggal 21 Nopember 2018 Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 01 Tahun 2018 tentang Larangan Penggunaan Data Kependudukan Tanpa Hak dan/atau Melawan Hukum untuk Keperluan Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi kepada seluruh Penyelenggara Seluler.
Salah satu poinnya, BRTI bersama dengan Mabes Polri melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanan Ketetapan ini. Pelanggaran terhadap ketentuan registrasi pelanggan jasa telekomunikasi dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.