Isu Konsolidasi Operator Seluler, Bagaimana Nasib Frekuensi?

Ilustrasi simcard.
Sumber :
  • ANTARA/Prasetyo Utomo

VIVA – Isu merger dan akuisisi yang sekarang heboh diberitakan di kalangan industri telekomunikasi ternyata menarik banyak pihak. Bahkan saham kedua operator sempat terkerek. Namun di balik isu tersebut, ada hal paling krusial yang harusnya mendapat perhatian lebih, nasib frekuensi yang dimiliki oleh kedua operator yang akan merger/akuisisi.

Diketahui, sejak menjabat di awal 2015 lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan jika merger dan akuisisi tak bisa dihindarkan di industri telekomunikasi. Bahkan idealnya, hanya ada 4 operator di Indonesia. Namun begitu, isu merger akan sama pentingnya dengan isu frekuensi. Menurut dia, frekuensi merupakan milik publik. Di operator masuk ke valuasi tapi tidak dalam bentuk aset dalam neraca.

Inilah yang kemudian ia janjikan untuk dibuat dan menjadi perhatian utama saat dirinya dipilih Jokowi dalam kabinet kerja, mengesahkan aturan merger dan akuisisi, yang telah direncanakan sejak Menteri M. Nuh. Sayangnya, sampai saat ini tak ada realisasinya.

Dikatakan pengamat industri dari Indotelko Forum, Doni Ismanto, sejatinya, apapun aksi marger atau akuisisi yang terjadi, masalah utamanya adalah pada isu frekuensi. Bahkan yang terjadi sekarang, saat aksi merger dan akuisi, yang selalu alot adalah masalah frekuensi.

"Jangan sampai alokasi frekuensi dianggap hak milik operator, menjadi bagian yang diperjualbelikan. Chief RA harus secepatnya mengeluarkan PM soal merger dan akuisisi. Tanpa itu, aksi korporasi ini akan penuh intrik. Frekuensi itu punya negara, bukan operator. Operator hanya dialokasikan dan dikelola," kata Doni, kepada Viva.co.id, Senin, 22 Oktober 2018.

Belajar dari pengalaman merger XL dan Axis beberapa waktu lalu. Kala itu, XL  mengembalikan  frekuensi 3G berdasar kesepakatan, bukan karena aturan. Jika saja aturan merger dan akuisisi sudah berlaku, mungkin ceritanya akan berbeda.

"Kalau sudah disahkan (aturan menteri), bisa jelas aturan mainnya. Itu sudah lama dibuat, bahkan draft-nya sudah ada. Jangan maunya efisiensi tapi membuat pelaku usaha nabrak aturan dan berakhir di Tipikor," jelas Doni.

Menteri bukan broker saham

Terkait isu merger ini, Doni juga menyayangkan pernyataan Rudiantara yang terkesan hanya rumor namun bisa mengerek saham operator-operator seluler yang menjadi obyek pembicaraan. 

Terbaru adalah pernyataan Rudiantara yang mengatakan akan ada rencana besar yang dilakukan salah satu operator yang akan melakukan merger. Pernyataan ini dianggap memberikan informasi ke pasar, menunjukkan keberpihakan yang seharusnya tidak diucapkan oleh seorang regulator.

"Regulator itu harusnya bicara fakta dan data, bukan menunjukkan keberpihakan. Bahkan direksi operator seluler saja tak ada statement resmi, mau merger atau akuisisi. Kok menteri bicara kayak broker saham. Kalau ternyata tak ada yang 'akbar', nanti masuk kategori hoax, itu bakal memalukan dia," katanya.