Mainkan Algoritma Media Sosial untuk Politik Capres, Apa Bisa?
- www.pixabay.com/geralt
VIVA – Memasuki musim kampanye capres dan cawapres, muncul informasi peretas atau hacker asal Rusia sudah menjalin kerja sama dengan petinggi partai politik di Indonesia. Peretas ini, menurut kabar yang berhembus, akan menjalankan peran memainkan media sosial seperti yang berjalan di Pemilu Amerika Serikat dua tahun lalu.
Malah yang berhembus, peretas Rusia ini bermain, dengan ‘memotong’ algoritma untuk menonjolkan atau mempromosikan pasangan capres dan cawapres tersebut, sehingga kabar buruk dari capres tertentu tak meluas. Kabar ini memang masih bersifat spekulasi dan belum terkonfirmasi kesahihannya.
Pengamat siber, Pratama Persadha mengatakan, memang algoritma memungkinkan menguatkan preferensi politik warganet.
Sebab algoritma ini akan menampilkan konten atau informasi tertentu yang selama ini disukai oleh pengguna media sosial. Algoritma akan menampilkan konten di media sosial pengguna sesuai dengan kebiasaan penggunanya.
"Semua media sosial punya rumus yang sama yaitu akan menampilkan konten yang serupa dengan yang sering kita lihat. Contoh bila seharian kita melihat YouTube terkait highlight sepak bola, maka seterusnya di beranda paling awal yang terlihat adalah postingan video tentang sepak bola dan video lain terkait," jelas pria yang merupakan Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) kepada VIVA, Jumat 28 September 2018.
Pratama menuturkan, dalam hal preferensi politik juga berlaku. Algoritma akan membaca perilaku pengguna, misalnya pengguna Facebook memosting dan membagi komentar terkait afiliasi politik tertentu, maka hasil yang muncul di halaman media sosial mereka itu juga akan terkait.
Pratama menjelaskan, algoritma media sosial memang sering berubah, biasanya terkait dengan beberapa hal. Pertama, kepentingan bisnis pengembang pada media sosial tersebut, kedua yakni menyesuaikan dengan kebiasaan para pengguna.
"Yang paling sering berubah adalah algoritma untuk menambah pengalaman pengguna," tuturnya.
Selain itu, perubahan algoritma juga terkait dengan bisnis, yakni pengarahan dan pengumpulan data. Praktik itu sudah ada, misalnya pada skandal kasus Cambridge Analytica yang mendunia beberapa bulan lalu.
Hikmah dari Amerika Serikat
Kasus memainkan algoritma untuk kepentingan politik terjadi di Amerika Serikat. Kala itu, menurut Pratama, tim Donald Trump jeli melihat peluang percakapan dan opini publik di Facebook dan hasil pencarian Google.
Pratama mengungkapkan, data PEW Research Amerika Serikat pada 2014 menunjukkan, milenial di Negeri Paman Sam punya pilihan politik berdasarkan Facebook.
"Ini kenapa Donald Trump pada 2016 tim kampanyenya melakukan kampanye massif di Facebook yang ditengarai banyak dengan web berita palsu," ujarnya.
Selain bermain di Facebook, tim Trump juga memainkan hasil pencarian di Google. Dengan sumber daya yang banyak, jelas Pratama, tim Trump berusaha masuk dalam pencarian dan hasilnya banyak berita Trump yang positif muncul di hasil pencarian.
"Karena pada dasarnya algoritma baik Google maupun media sosial ini mengarahkan pada hal-hal yang banyak dicari. Artinya robot-robot pintar milik raksasa teknologi juga bisa dimanipulasi, dengan memperbanyak berita palsu dan akses tinggi ke sana," tuturnya.
Pakar telik sandi itu menuturkan, media sosial bisa dibilang bergantung dengan algoritma. Naik turunnya popularitas media sosial salah satunya berkat algoritma.
Facebook pernah merasakannya. Pratama menjelaskan, pada periode 2012-2014, Facebook mengalami masa berat karena kalah dari Twitter. Kemudian media sosial terpopuler itu mengakuisisi WhatsApp dan Instagram.
"Selain masalah bisnis, Mark Zuckerberg ingin menambah data experience seperti apa yang diinginkan oleh netizen. Dan kita lihat paling tidak sejak 2015, Facebook mengeliat luar biasa bersama Instagram dan WhatsApp," jelasnya.