Resah Pedagang Seluler Belum Berakhir

Unjuk rasa menolak pembatasan registrasi kartu prabayar telepon seluler satu NIK untuk tiga kartu
Sumber :
  • ANTARA FOTO/R. Rekotomo

VIVA – Pedagang seluler atau outlet kini sedikit lega dalam proses registrasi prabayar. Sesuai dengan tuntutan mereka, pemerintah telah memberikan izin kepada outlet untuk bisa menjalankan wewenang registrasi prabayar seperti yang dilakukan dengan gerai operator. 

Lisensi registrasi prabayar di outlet ini dikeluarkan melalui surat Ketetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia dengan Nomor 02/TAP/BRTI/IV?2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi. 

Surat ketetapan tersebut diteken oleh ketua dan anggota BRTI, di Jakarta Kamis, 19 April 2018. Ketetapan ini menjadi payung hukum bagi outlet untuk bisa melaksanakan registrasi prabayar. 

Dalam ketetapan tersebut, diatur registrasi bisa dilakukan melalui gerai operator, mitra berbadan hukum atau non berbadan hukum termasuk usaha perseorangan (outlet) dan pelanggan sendiri. 

Dengan ketetapan tersebut, BRTI mengklaim sudah memenuhi tuntutan pedagang seluler yang tergabung dalam asosiasi Kesatuan Niaga Cellular Indonesia (KNCI). Dalam aksi serentak nasional pada 2 April lalu, salah satu tuntutan KNCI adalah meminta kewenangan registrasi prabayar. 

"Apa yang mereka minta sudah kami penuhi. Untuk proses selanjutnya tinggal kerja sama dengan operator," ujar Ketua BRTI, Ahmad M. Ramli kepada VIVA, Jumat 27 April 2018. 

Keluarnya juklak registrasi prabayar itu memang disyukuri KNCI. Dengan demikian, payung hukum registrasi di outlet yang selama ini dipersoalkan, sudah tersedia. 

Namun, Ketua Umum KNCI, Qutni Tisyari mengatakan, masih ada satu masalah krusial yang membuat pedagang seluler resah dan bingung. Hal yang dimaksud Qutni adalah masih adanya pembatasan registrasi satu nomor induk kependudukan (NIK) untuk registrasi prabayar di outlet. Padahal, pada aksi nasional awal April lalu, KNCI menuntut penghapusan pembatasan 1 NIK dalam registrasi prabayar. 

Qutni mengatakan, operator seluler melalui Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) membatasi registrasi 1 NIK hanya 10 nomor. KNCI sejatinya sudah menggelar lobi agar pembatasan tersebut dihapus. Dalam lobi dengan ATSI pada Selasa 24 April 2018, operator ngotot harus ada pembatasan.

Padahal dalam ketentuan Permenkominfo Nomor 21 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi, tak ada ketentuan pembatasan registrasi.

"Kami menjadi bingung. Acuan PM itu tak ada pembatasan. Dalihnya registrasi di outlet harus dibatasi dengan alasan pengawasan," kata Qutni. 

Menurutnya, alasan pembatasan yang disampaikan operator melalui ATSI tidak punya landasan kuat. Qutni menuturkan, seharusnya yang perlu diperhatikan operator adalah pengawasan registrasi bukan pembatasan registrasi. 

Dalam argumennya, ATSI bersikukuh harus ada pembatasan registrasi untuk menekan atau meminimalkan risiko pelanggaran dan penyalahgunaan data pengguna dalam registrasi. Qutni menduga, operator masih takut diseret dalam masalah hukum terkait dengan registrasi.

"ATSI berpandangan misalnya ada kasus hukum (terkait registrasi), kan ini sistem yang dipakai adalah sistem operator. Dia (operator) merasa bisa dilemahkan karena turut membantu (kejahatan registrasi)" jelas Qutni. 

Menurutnya, argumen ATSI tersebut lemah dan tak masuk akal. Dia mengatakan, jika kekhawatiran ATSI adalah soal terjadinya tindakan kriminal dalam registrasi, pedagang seluler siap bertanggung jawab atas masalah yang terjadi, namun dengan syarat hapus pembatasan registrasi. 

"Seharusnya pengawasan bukan pembatasan. Tinggal dibuat perjanjian saja, bahwa outlet yang akan mengambil konsekuensi hukum," ujarnya. 

Operator ‘ditekan’ pemerintah

Dia menuturkan, dalih khawatir terseret dalam masalah hukum akibat registrasi yang disampaikan ATSI memang lemah. Sebab jika bertahan pada dalih tersebut, seharusnya tiap kasus penipuan yang menggunakan layanan SMS dan lainnya, sejak dulu operator harus dilibatkan dalam penanganan kasus hukum tersebut. Tapi nyatanya tak pernah terdengar, operator dikriminalkan dalam kasus penipuan yang menggunakan layanan telekomunikasi. 

"Apa yang terjadi pada kasus pencurian itu bisa dilihat. Jadi alasan ATSI itu tak mendasar," tegasnya. 

Qutni mengakui, antara outlet dan operator masih beda sudut pandang dalam teknis registrasi prabayar di outlet

Saat mendengar alasan ATSI untuk membatasi registrasi di outlet, Qutni mengungkapkan, terlihat asosiasi operator itu mendapatkan 'tekanan' dari BRTI dan Kominfo. 

Operator mengaku kepada KNCI, mereka mendapat peringatan dari pemerintah dalam pelaksanaan registrasi prabayar di outlet. Jika ditemukan adanya penyelewengan registrasi prabayar di outlet, pemerintah tak segan menghukum operator. 

"Bisa diberi SP sampai sanksi administrasi ke operator," tuturnya.