Nuklir Dinilai Mahal untuk Listrik, Lihatlah Jepang
- www.britannica.com
VIVA – Indonesia sudah lebih dari setengah abad memanfaatkan nuklir untuk kehidupan sehari-hari, seperti pengobatan, bidang pangan, pengawetan makanan, dan lainnya.
Tetapi, Indonesia masih belum beranjak melangkah 'Go Nuklir' untuk energi pembangkit listrik, atau Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Para pemangku kepentingan ada yang menyatakan, nuklir untuk pembangkit listrik akan membuat tarif listrik lebih mahal.
Menanggapi hal itu, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir tidak sependapat. Menurutnya, tarif listrik menggunakan nuklir dinilai mahal karena produktivitasnya dalam skala kecil.
"Kalau mahal, Jepang, China, Korsel tidak akan bangun. Secara ekonomi favorit," ujar Nasir kepada VIVA, usai peluncuran Iradiator Gamma Merah Putih dan Laboratorium Radioisotop dan Radiofarmaka, di Serpong, Tangerang Selatan, Rabu 15 November 2017.
Nasir menuturkan, jika nantinya memang diperlukan untuk membangun PLTN komersial, akan dihitung kembali.
Soal masalah keamanan, Nasir menyatakan, masyarakat tidak perlu khawatir, karena nuklir sangat aman. Buktinya, dalam penerapan kehidupan sehari-hari, nuklir sudah digunakan.
"Problemnya menyosialisasikan ke masyarakat, itu yang mahal," kata dia.
Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arcandra Tahar mengatakan nuklir masih terlalu mahal dari sisi komersial. Adapun Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PLTN berada pada rentang 9,7-13,6 sen dolar per KWh.
Selain itu, masalah bahan baku nuklir menjadi fokus pemerintah. Apakah uranium dan thorium yang ada di Indonesia sudah merupakan cadangan (reserves), atau masih dalam bentuk potensi (resources).
"Setelah itu apakah bisa kita tambang, dan setelah itu lagi, apakah bisa dipakai atau tidak. Kalau uranium, tentu harus ada pengayaan. Kalau pun kita bangun PLTN itu, uranium itu impor, kita belum bisa gunakan ini untuk PLTN kita," ujar Arcandra beberapa waktu lalu.