Proses Gunung Agung Dinginkan Bumi
- REUTERS/Darren Whiteside
VIVA.co.id – Gunung Agung masih berstatus awas sampai Selasa petang, 26 September 2017. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian ESDM dan badan penanggulangan bencana menegaskan tidak bisa memprediksi kapan gunung tertinggi itu meletus. Gunung Agung telah berstatus Awas sejak Jumat 22 September 2017.
Peningkatan aktivitas Gunung Agung mengundang perhatian dari ilmuwan geologi, Richard Arculus. Profesor emeritus Universitas Nasional Australia itu memperkirakan saat nanti Gunung Agung meletus, maka akan berdampak penurunan suhu.
Perkiraan Arculus itu didasarkan dari letusan Gunung Agung pada 1963. Dikutip dari Abc News, Selasa 26 September 2017, dia mengatakan saat erupsi 54 tahun lalu, Gunung Agung memuntahkan abu dan belerang dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer.
Belerang sulfur kemudian bereaksi dengan uap air di udara dan kemudian membentuk tetesan asam sulfat. Tak main-main, kala itu diprediksi sekitar 10 juta ton tetesan asam sulfat terakumulasi di stratosfer, lapisan atas troposfer. Selanjutnya akumulasi itu membentuk kabut asap.
Arculus menjelaskan, kabut asap kemudian beraksi sebagai penghalang dan mengurangi jumlah sinar ultraviolet ke permukaan bumi. Kondisi ini mengakibatkan efek pendinginan bumi.
Dia mengatakan, pada letusan 1963 memang berdampak pada penurunan suhu atmosfer global, turun sekitar 0,1 sampai 0,4 derajat celsius. Menurut Arculus, kabut asam sulfat bisa bertahan di atmosfer atas bumi dalam waktu beberapa tahun dan akhirnya jatuh ke bumi.
"Tetesan itu cukup kecil sehingga mereka bisa tinggal di sana sementara waktu tapi akhirnya mereka jatuh dalam hujan," ujarnya.
Dia menjelaskan, jika nantinya terjadi penurunan suhu satu digit celsius, maka pendinginan bumi itu tak banyak menolong dalam pemanasan global saat ini.
Arculus mengatakan, pendinginan bumi yang terjadi dampak letusan Gunung Agung tak akan begitu terasa oleh warga, sebab berlangsung tidak lama.
"[Perubahan suhu] tidak berlangsung cukup lama untuk kita perhatikan. Ini lebih mungkin menjadi efek instrumental yang disadari ilmuwan," kata Arculus.
Dalam catatan sejarah, sejumlah dampak vulkanik menyebabkan perubahan iklim.
Letusan Gunung Tambora, Sumbawa Nusa Tenggara Barat pada 1815 berdampak pada suhu global secara luas. Arculus mengatakan, setelah Gunung Tambora meletus, kawasan Eropa Utara dan Amerika timur laut mengalami apa yang disebut 'Tahun tanpa musim panas’.
"Letusan Tambora menyebabkan penurunan suhu yang cukup besar sehingga terjadi embun beku di wilayah New England, Amerika Serikat pada Agustus, yang sebelumnya tak pernah terjadi," jelasnya.
Dampak letusan Gunung Tambora juga menyebabkan gagal panen yang meluas. Suhu global yang terpengaruh letusan membuat orang yang bercocok tanam dan beternak mengalami kesusahan.