Gunung Es baru di Antartika, Sejarah Menyeramkan Tercipta
- www.bbc.com/NASA/SUOMI NPP/SIMON PROUD
VIVA.co.id – Fenomena baru gunung es terjadi di Antartika pada Rabu 12 Juli 2017. Gunung es terbentuk dari lembaran es larsen C. Gunung es baru itu luasnya tercatat 5.800 kilometer persegi atau sembilan kali lebih luas dari luas DKI Jakarta. Dengan lahirnya gunung es raksasa itu, maka lembaran es Larsen C di Semenanjung Antartika kini kehilangan 12 persen luas esnya.
Relawan bencana, Muh Ma'rufin Sudibyo menuturkan, ketebalan yang tampak dari gunung es baru itu mencapai 500 meter dan mengandung es minimal 2900 kilometer kubik.
"Sejarah baru yang menyeramkan tercipta di Antartika pada hari ini (Rabu 12 Juli)," ujarnya.
Menurutnya, gunung es dari lembaran es Larsen C yang kini dinamai gunung es A68 itu masih menjadi keempat terbesar di Bumi. Namun pecahan lembaran es yang membentuk gunung es raksasa akan membuatnya makin tak stabil. Laman BBC menuliskan besarnya gunung es A68 itu merupakan setengah dari rekor gunung es B15 yang lahir dari lembaran es Ross pada 2000. Luas gunung es B15 tercatat mencapai 11 ribu kilometer persegi.
Ma'rufin menilai, biang lahirnya gunung es raksasa ini adalah aktivitas manusia, terutama konsumsi ugal-ugalan bahan bakar fosil selama 150 tahun terakhir yang menciptakan pemanasan global.
"Global warming untuk saat ini memang 'baru sekadar' menaikkan suhu rata-rata paras Bumi hingga 0,5 derajat celsius dari nilai pra industri. Namun di kawasan Antartika, lokasi geografis menjadikan kenaikan suhunya mencapai 5 derajat celsius. Ini cukup hangat untuk melemahkan, meretakkan, memecah dan akhirnya melelehkan es," ujarnya.
Dia menuturkan, melelehnya es di Antartika bisa berdampak banyak. Selain bakal mengubah iklim dengan segala akibatnya termasuk menggeser daerah tropis dan gurun, juga akan melelehkan es yang bisa menaikkan air laut.
"Jika seluruh semenanjung Antartika tempat lembaran es Larsen A, B dan C meleleh, air laut global bisa naik hingga 3 meter," jelasnya.
Kondisi di Antartika yang menjadi cermin dampak pemanasan global sayangnya masih mewarnai kontroversi wacana perubahan iklim tersebut serta meributkan ada tidaknya pemanasan global.
Belum lama ini, pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mencabut diri dari kesepakatan pengurangan emisi karbon sesuai dengan Perjanjian Iklim Paris.
"Sementara di Antartika sana global warming berlangsung intensif tanpa bisa kita kendalikan lagi," katanya.
Bahkan, kata dia, simulasi menunjukkan apabila manusia saat ini menyetop begitu saja konsumsi bahan bakar fosil, yang tergolong mustahil, Antartika dan dan perairan sekitarnya masih akan tetap lebih panas hingga beberapa dekade ke depan.