Pemerintah Bisa Lacak Data Detail Akun Kejahatan Siber

Ilustrasi pelaku kejahatan siber.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Kementerian Komunikasi dan Informatika mengumumkan bahwa data kasus kejahatan siber di Indonesia meningkat tajam dalam dua tahun terakhir. Kejahatan siber didominasi oleh akun psudonim atau akun palsu/bukan yang sebenarnya.

Namun, pemerintah tak lagi terkendala penjahat siber itu menggunakan akun sungguhan atau pseudonim alias abal-abal. Sebab, penggunaan akun pseudonim pun dapat dilacak identitas pengguna sesungguhnya hingga data yang paling detail, seperti biadata pribadi; bahkan lokasi terkini si pengguna.

"Meski anonim (baca: pseudonim) kita tetap bisa melacak hingga detail melalui jejak aplikasinya. Kita dapat melacak IP (internet protocol) address sampai provider yang digunakannya sehingga diketahui biodata serta posisi sang pengguna sebenarnya," kata Teguh Arifiyadi, kepala Sub Direktorat Penyidikan Kementerian Komunikasi dan Informatika, di Malang, Jawa Timur, pada Sabtu 19 Mei 2018.

Kementerian terus memantau akun-akun berpotensi menjadi aktor kejahatan siber, misal akun penyebar konten pornografi, penyebar ujaran kebencian, dan lain-lain. Sebagian besar memang melalui media sosial Facebook, Instagram, dan Twitter.

Kasus kejahatan siber, kata Teguh, meningkat tajam dalam dua tahun terakhir, bahkan hingga 900 persen. Pada tahun 2016, Kementerian menangani 6.300 konten, sementara pada 2017 meningkat menjadi 60 ribu konten.

"Ini akan terus meningkat dan meresahkan masyarakat, karena tingkat kejahatan yang terus meningkat. Kami memprediksi akan terus meningkat setiap tahun, seiring dengan semakin banyaknya pengguna media sosial," ujarnya.

Langkah yang diambil Kementerian adalah mengajak masyarakat lebih proaktif dalam menangkal akun-akun yang bepotensi melakukan kejahatan siber. Masyarakat bisa langsung melapor akun ke Kementerian atau mengajak pengguna lain media sosial untuk me-report secara massal.

Metode report atau pelaporan virtual secara massal atau bersamaan dengan alamat internet protocol berbeda-beda, menurut Teguh, akan lebih efektif. Soalnya akun yang diadukan dengan metode itu dapat lebih cepat dinonaktifkan.