Bung Towel Sebut Ada 'Resultist Dictatorship' di Liga 1
- VIVA.co.id/Bobby Andalan
VIVA.co.id – Pelatih dipecat atau pelatih mundur adalah isu paling panas dalam dua bulan awal kompetisi Liga 1 2017. Tujuh pelatih jadi korban dan empat lainnya pernah berada dalam posisi nyaris mundur atau dimundurkan, hal ini pula yang jadi bahasan pengamat sepakbola nasional, Tommy Welly.
Angel Alfredo Vera yang pertama kehilangan jabatannya. Tiga hari sebelum kickoff Liga 1 2017, ia dipecat Persipura Jayapura. Vera yang sukses mengantarkan Persipura juarai ISC A 2016 digantikan Liestiadi. Hanya bertahan 10 laga, Liestiadi akhirnya mundur setelah Persipura kalah 1-5 dari PSM Makassar dan 0-2 dari Madura United.
Bung Towel menyebut Hans Peter Schaller meninggalkan Bali United dengan sangat cepat. Kekalahan 0-2 dari Madura United dan 1-2 dari Persipura menjadi tiket pemecatannya. Posisinya kemudian digantikan Widodo Cahyono Putro yang dua pekan sebelum Liga 1 bergulir juga dipecat Sriwijaya FC.
Pengganti Widodo di Sriwijaya FC jelang kickoff adalah Osvaldo Lessa. Pelatih asal Brasil ini tidak seberuntung koleganya sesama Brasil, Jacksen F Tiago di Barito Putera maupun Gomes de Oliviera bersama Madura United. Lessa kehilangan jabatannya seusai Sriwijaya FC kalah 0-1 dari Persija Jakarta di laga ke-11. Libur Lebaran menjadi lebih panjang bagi Lessa.
Tiga pelatih lain yang dipecat atau mundur adalah Laurent Hatton (PS TNI), Yusack Sutanto (Perseru Serui) dan Timo Scheuneumann (Persiba Balikpapan). Kecuali Laurent Hatton, semua pelatih kehilangan pekerjaannya karena alasan yang sama yakni hasil akhir pertandingan. Raport buruk!
Hatton memang perkecualian. Tiga pertandingan awal dilalui dengan hasil yang positif, dua imbang dan sekali menang. Usai menang away 2-1 atas Bhayangkara FC yang dibumbui dua kartu merah untuk Manahati Lestusen dan Abduh Lestaluhu, Hatton angkat koper dari markas PS TNI bersama dua pemain asingnya sekaligus Aboubacar Camarra dan Aboubacar Sylla. Entah ada masalah apa dengan Hatton?
Selain mereka yang sudah dipecat, dimundurkan atau mundur sendiri, empat pelatih lain pernah berada atau merasakan posisi nyaris mundur. Djajang Nurdjaman menyatakan mundur dari Persib usai kalah 0-2 dari Bhayangkara FC di pekan kesembilan.
Aji Santoso mulai dituntut mundur oleh Aremania sejak kalah spektakuler 0-4 dari Persela di pekan ketujuh. Stefano Cugurra Teco sudah merasakan panas dan pedihnya tuntutan mundur dari The Jakmania sejak pekan kelima ketika kalah 0-1 dari Persela.
Ultras Persegres Gresik United juga mulai gerah dengan kinerja pelatih Hanafi saat kalah 0-2 dari Persela dipekan ke-10. Fakta ini mengindikasikan bahwa pelatih sepak bola Liga 1 menjadi pekerjaan yang paling beresiko di Indonesia saat ini.
Stres tingkat tinggi menjadi makanan sehari-hari bukan hanya bagi sang pelatih tapi juga merembet ke anggota keluarga lainnya. Setiap pertandingan dihadapi dengan satu pilihan, tidak boleh kalah.
Karena kalah berarti pemecatan siap menghampiri. Semuanya nyaris diukur hanya dengan satu ukuran yakni hasil akhir pertandingan.
Result Rule! Hukum hasil akhir… semuanya ingin hasil instant. Padahal semuanya mengaku paham bahwa di sepakbola tidak ada yang instant. Kenyataannya, sepakbola Indonesia dalam dua tiga bulan terakhir ini seolah tidak mengenal soal keadilan.
Jika performa tim sedang buruk, ditambah suporter mulai marah-marah baik di dalam stadion maupun di media sosial, maka ujungnya mudah ditebak.
Klub, pemilik klub atau manajemen klub akhirnya memecat pelatih. Inilah yang oleh pelatih legendaris Argentina Jose Pekerman disebut sebagai “Resultist Dictatorship.”
Pelatih akhirnya menjadi terpidana. Semua kesalahan ditimpakan pada sosok pelatih. Seolah-olah beban kegagalan semuanya menjadi tanggungan dan milik pelatih. Yang lain sepertinya tak pernah salah.
Manajemen klub seolah-olah tak punya kontribusi kesalahan. Pokoknya yang paling gampang dilihat kesalahannya adalah pelatih. Maka paling mudah pula memposisikan pelatih ditempat yang paling salah.
Inilah realitas paling menggelitik dalam perkembangan sepak bola nasional belakangan ini. Asosiasi Pelatih Sepakbola Indonesia (APSI) memang belum lama kehilangan nahkodanya almarhum Gatot Haryo Sutedjo.
Tapi, sebagai asosiasi yang menjadi members PSSI dan memiliki hak suara di kongres PSSI, APSI tidak boleh vakum. APSI tidak boleh diam saja. APSI harus bersuara. Setidaknya berkumpul, berpikir dan berwacana terhadap situasi ini. Beri pencerahan dan udara segar pada publik sepakbola Indonesia.
Jangan lupa, pelatih adalah pilar pertama dalam pengembangan sepakbola.