Cerita di Balik Hasil Buruk Timnas Wanita Indonesia di Piala Asia
- www.instagram.com/afcasiancup/
VIVA – Selalu kalah dari tiga pertandingan fase grup, kebobolan 28 gol, dan tak menciptakan satu pun gol. Itulah yang dialami timnas wanita Indonesia pada putaran final Piala Asia 2022.
Sejumlah kalangan tak terlalu terkejut dengan hasil itu, bahkan mantan pelatih timnas putri Indonesia Rully Nere jauh-jauh hari sudah mengingatkan untuk jangan kaget jika Indonesia kalah dengan skor besar.
Legenda sepak bola nasional itu bukannya skeptis. Dia justru berpendapat demikian karena melihat apa yang terjadi dalam sepakbola putri Indonesia yang memang belum memiliki landasan kuat untuk bisa berbicara banyak dalam ajang internasional.
Rully sendiri menyoroti tiadanya kompetisi liga putri di dalam negeri yang menjadi faktor menentukan dalam sukses atau tidaknya timnas dalam turnamen internasional.
Jika berkaca dari pengalaman negara lain, terutama yang pernah menjuarai Piala Asia Putri dalam edisi-edisi terakhirnya, omongan Rully benar adanya.
Terutama setelah sepak bola profesional putri semakin modern dan dikelola seperti terjadi pada sektor putra belakangan tahun ini, juara-juara Piala Asia Putri selalu berasal dari negara-negara yang mengelola dengan baik sistem kompetisi liga sepakbola putrinya.
Tengok saja China yang paling sering menjuarai Piala Asia Putri walaupun awalnya mengandalkan tim amatir. Tetapi itu terjadi pada masa ketika sepak bola putri memang belum seprofesional dan sekompetitif seperti belakangan masa ini.
Sejak pertama kali digelar pada 1975, sudah tujuh tim mengangkat trofi Piala Asia Putri. Ketujuhnya adalah China, Korea Utara, Taiwan, Jepang, Australia, Thailand, dan Selandia Baru.
China sudah delapan kali menjuarainya. Dua di antaranya terjadi ketika China telah memiliki liga sepak bola putri dan terjadi saat liga sepak bola putri semakin kompetitif dan dikelola secara lebih profesional di banyak negara.
China sendiri memiliki liga sepak bola putri pada 1997 dan lalu dimodernisasi menjadi lebih profesional pada 2015.
Lebih Siap
Memang dalam 33 tahun pertama sejarah turnamen ini kebanyakan yang juara belum memiliki liga, tetapi setelah itu juara-juara Piala Asia selalu berasal dari negara yang memiliki liga dan sistem kompetisi yang sekompetitif liga sepak bola putra.
Korea Utara yang tiga kali juara turnamen ini pada 2001, 2003, dan 2008 bahkan tak pernah lagi menjuarai turnamen ini setelah era kompetisi liga sepak bola putri menguat di Asia.
Sejak Australia menjuarai turnamen ini pada 2010, era sepak bola putri tanpa liga yang kompetitif sudah tutup buku alias berakhir dan mustahil terulang.
Australia memiliki liga sepak bola putri yang profesional sejak 2008 yang dikenal dengan A-League Women.
Australia bahkan mengelola liga putri layaknya sebuah industri seperti terjadi pada liga sepak bola putra di mana televisi berebut hak siar menayangkan pertandingan liga putri.
Kompetisi liga juga membuat mereka menghasilkan pemain-pemain yang dilirik oleh liga sepak bola putri yang lebih kompetitif di Eropa sehingga memperbanyak opsi saat timnas Australia membutuhkan tim yang kuat dan tertempa untuk mengarungi turnamen-turnamen regional dan internasional.
Alhasil sudah tiga periode terakhir Australia selalu mencapai final Piala Asia Putri. Juara edisi 2010 di China, dan berturut-turut menjadi runner up pada 2014 dan 2018. Kini, Australia menjadi salah satu favorit juara edisi 2022.
Pun demikian dengan Jepang yang menjuarai dua edisi terakhir Piala Asia. Negeri ini memiliki liga sepak bola putri semi-profesional yang dinamai Nafeshiko League dan terbagi dalam dua divisi sejak 1989.
Thailand dan Filipina juga demikian walaupun diikuti tim-tim universitas, sementara Vietnam reguler menggelar kejuaraan putri nasional sejak 1998 yang tak terhenti sampai kini. Ketiga negara ini melenggang ke perempat final Piala Asia Putri 2022.
Kehadiran liga membuat negara-negara itu menjadi lebih siap menghadapi turnamen. Dalam kata lain, proses pun menjadi sangat menentukan dalam mencetak prestasi besar dalam turnamen.
Oleh karena itu, jika ada yang masih beranggapan proses tidak penting dalam perjalanan mencapai sukses pada sebuah turnamen, maka mereka pasti masih hidup di zaman lain ketika kecenderungan dan masa kini justru menuntut adanya proses panjang untuk mencetak prestasi besar.
Butuh Liga
Yang terjadi belakangan ini malah sukses dalam Piala Asia Putri dan juga turnamen-turnamen lain, selalu ditentukan oleh bagaimana sebuah tim atau atlet ditempa dalam kompetisi yang kontinyu dan profesional, entah liga atau turnamen.
Sebaliknya masa-masa 'sistem instan' dalam membentuk tim sudah lewat. Kalaupun masih ngotot melakukannya, jangan harap bisa menghasilkan hasil positif, sehebat apa pun pelatihnya.
Sebaliknya, akan sangat mahal akibatnya jika pandangan yang mengesampingkan proses masih dipelihara karena tim atau atlet akan selamanya akan ketinggalan dari negara lain yang memiliki sistem kompetisi seperti disebut Rully Nere.
Tapi Indonesia sebenarnya tidak terlalu asing dengan liga sepak bola putri karena pernah memilikinya, bahkan pernah memiliki Invitasi Liga Sepak bola Wanita (Galanita) yang dibentuk pada 1982 namun kemudian terhenti begitu saja.
PSSI memang menghidupkan kembali liga sepak bola wanita ini dengan membentuk Liga 1 Putri pada 2019 yang diikuti sepuluh tim dan dijuarai Persib Putri. Namun kembali terhenti ketika klub-klub sepak bola putri dan juga sekolah sepak bola putri lumayan menjamur di Indonesia.
Padahal bercermin dari Australia, Jepang dan China, memiliki liga sepak bola putri jauh lebih baik ketimbang tidak memilikinya.
Paling tidak menurut teori sains olahraga, kompetisi bisa mendorong hadirnya standar pencapaian lebih tinggi, menciptakan disiplin, meningkatkan dan menjaga tingkat kebugaran, dan membiasakan kerja tim sehingga membangun loyalitas dan kepercayaan diri yang besar yang penting dalam meretas sukses.
Pesepakbola-pesepakbola putri hebat seperti Alex Morgan, Megan Rapinoe, atau Sam Kerr saja, bisa terus mengkilap karena ada kompetisi liga.
Bahkan pesepakbola-pesepakbola terbesar dunia seperti Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo tetap membutuhkan kompetisi agar bisa konsisten berada dalam permainan terbaiknya sehingga memberikan manfaat besar baik kepada klub maupun kepada timnas.
Oleh karena itu, hasil timnas putri Indonesia dalam Piala Asia Putri 2022 semestinya menjadi wake up call atau pengingat agar Indonesia segera menghidupkan kembali liga sepakbola putri.
Bukan saja demi prestasi internasional, namun juga guna mewadahi talenta sepakbola putri di seluruh negeri dan menjawab animo besar masyarakat dalam melihat sepak bola putri yang kuat yang setidaknya menjadi opsi manakala sektor putra belum bisa memberikan yang terbaik di kancah internasional mungkin seperti sepak bola putri China menutup prestasi sektor putranya. (Ant)