Kembalinya Taring Persija dan Tragedi Patahnya Sayap Timnas
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – "Persija Jakarta oooo ooooo.... Persija Jakarta oooo ooooo.... Persija Jakarta oooo ooooo....," nyanyian ini begitu kencang terdengar pada 9 Desember 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Jakmania berpesta saat itu, menyambut keberhasilan Persija meraih gelar juara Liga 1 musim 2018.
Ya, pesta besar. Kawasan SUGBK saat itu berubah menjadi lautan oranye. Atmosfer begitu hangat. Begitu terasa aura kebahagiaan dari Jakmania.
Maklum saja, Persija memang sudah lama tak juara kompetisi sepakbola nasional. Terakhir kali, mereka menyabet gelar juara Liga Indonesia pada 2001 silam.
Semakin sempurna karena Persija mematahkan mitos terkait Liga 1. Sebelumnya, ada mitos menyebutkan juara Piala Presiden tak akan bisa memenangkan Liga 1.
Tapi, semua dipatahkan Persija. Mereka menjadi tim pertama yang mampu mengawinkan Piala Presiden dengan gelar juara Liga 1.
Kesempurnaan ini dirayakan Persija pada Sabtu 15 Desember 2018. Pawai digelar oleh Persija. Jalan protokol dipenuhi warna oranye, Jakmania menari, melepaskan bom asap, dan bernyanyi menggunakan atribut kebanggaan klub.
Jakarta begitu meriah rasanya saat itu, menyambut raja di kompetisi musim 2018.
Ditinjau dari perjalanan Persija di musim 2018, begitu berat rasanya untuk menjadi juara. Sebab, Persija harus menyandang status tim musafir di musim kompetisi 2018.
SUGBK tak bisa mereka pakai karena adanya agenda Asian Games 2018. Pun, mereka hanya sebentar memakai Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi, lantaran juga digunakan untuk Asian Games.
"Tahun yang tak mudah bagi Persija. Kami tak punya stadion. SUGBK dan Patriot tak bisa dipakai. Saya bilang ke pemain, tak ada alasan soal kondisi ini. Kami tak bisa menang kalau terus beralasan. Pemain pasti lelah. Tapi, kami akhirnya bisa juara," terang pelatih Persija, Stefano Cugurra Rodrigues alias Teco.
Persija baru bisa memakai SUGBK ketika menghadapi Mitra Kukar di pekan pamungkas Liga 1. Awalnya, mereka kesulitan menggunakan stadion ini karena bentrok dengan agenda keagamaan. Tapi, pada akhirnya, Persija mendapatkan izin menggunakannya.
SUGBK kembali memberikan tuah ke Persija. Mereka menang dengan skor 2-1. Meski kemenangan dibumbui kontroversi, Persija tetap saja keluar sebagai juara yang sah.
Kontroversi, sebab banyak yang berpikir Persija juara karena uluran tangan dari pihak luar. Sebelumnya memang banyak pihak yang bicara di berbagai lini terkait siapa yang juara Liga 1.
Mereka menganggap Persija akan juara karena sudah diatur dan pemiliknya merupakan pejabat di PSSI.
"Saya sih tak mau komentar. Prestasi itu tak bisa ditentukan. Orang susah, sedih frustrasi, boleh saja bicara seperti itu. Saya harap, orang Jakarta, Jakmania, dan Persija sabar. Kami harus waras, sadar, mengerti. Orang susah itu jangan dilawan. Beri kesempatan mereka bersusah ria. Kasih kesempatan kepada mereka, ruang bebas demi menyampaikan pendapatnya. Negatif atau positif, hak mereka, selama tak melanggar hukum," ujar CEO Persija, Gede Widiade.
Gelar Individu Jadi Pelengkap
Harus diakui penampilan Persija di musim 2018 begitu konsisten. Komposisi pemain yang seimbang disertai taktik dan strategi tepat dari Teco, menjadi kunci dalam keberhasilan Persija jadi juara.
Pun, di bawah tangan dingin Teco, beberapa pemain menjadi lebih beringas. Lihat saja Riko Simanjuntak.
Kualitasnya begitu berkembang saat Teco memberikannya kebebasan dalam bermain. Marko Simic yang sempat seret gol, mampu diasah lagi ketajamannya.
Di lini tengah, kolaborasi pemain macam Sandi Dharma Sute, Rohit Chand, Renan Silva, hingga Ramdani Lestaluhu, mampu membuat permainan Persija jadi lebih berwarna.
Atas berbagai fakta ini, Teco menyabet gelar pelatih terbaik. "Pencapaian saja juga merupakan kerja sama bagus dengan asisten dan ofisial. Kerja sama sangat bagus di tim ini, bahkan pemain juga terlibat dalam diskusi dengan kami," ujar Teco menanggapi gelar pelatih terbaiknya.
Selain Teco, Persija juga mendapatkan satu gelar individu lain. Pemain terbaik Liga 1 jatuh kepada salah satu pemain Persija, Rohit Chand.
Aneh memang karena Rohit secara statistik biasa saja. Namanya tak ada di lima besar dari kategori most assist, most tackle, dan lainnya.
"Bisa lihat statistik saya, tak cetak banyak gol, assist juga. Saya sungguh tak menyangka. Tapi, saya senang," terang Rohit.
Tim Technical Study Group PT Liga Indonesia Baru punya alasan kuat menunjuk Rohit sebagai pemain terbaik Liga 1. Sikap Rohit di atas lapangan yang jadi pembeda.
Bicara kualitas, banyak pemain yang memiliki statistik bagus, bahkan lebih ketimbang Rohit. Namun, Ketua TSG, Mundari Karya, menggaris bawahi sikap Rohit yang santun di atas lapangan.
"Tak cuma ke pemain, dia juga hormat ke wasit. Banyak pemain bagus, tapi tak sedikit yang main trik dan membuat pertandingan tak kondusif. Sikap santun ini sangat penting untuk sepakbola Indonesia sekarang. Sebab, nantinya akan ditiru pemain muda," jelas Mundari.
Sayap Timnas Patah
Saat Persija berjaya, Timnas Indonesia justru merana. Di Piala AFF 2018, Timnas babak belur, gagal melaju ke semifinal.
Pencapaian Timnas memang begitu mengecewakan. Start mereka buruk.
Bertandang ke National Stadium, 9 November 2018, Timnas sebenarnya mampu mendominasi permainan. Namun, mereka pada akhirnya harus menelan kenyataan pahit, kalah lewat gol tunggal Hariss Harun di menit 37.
Ada asa lolos yang muncul bagi Timnas di pertandingan kedua, menyusul kemenangan atas Timor Leste. Namun, saat menghadapi Thailand, Timnas melempem.
Mereka kalah dengan skor telak, 2-4. Kekalahan yang mengecilkan peluang Timnas. Hingga akhirnya, Timnas dinyatakan tak lolos usai Filipina bisa menahan imbang Thailand, 21 November 2018.
Tak usah heran jika Timnas gagal lolos. Persiapan dalam urusan manajemen yang buruk berkontribusi besar dalam kegagalan Timnas.
Pertama, soal pelatih. Tak ada kejelasan dari PSSI, mau pakai jasa siapa. Luis Milla Aspas awalnya mau dipertahankan. Tapi, kenyataannya Milla tak kunjung datang setelah melakoni berbagai drama. Entah salah siapa.
Pada akhirnya, malah Bima Sakti Tukiman yang ditunjuk jadi pelatih. Benar saja, Bima tak siap melatih Timnas dan hasil kerjanya tak memuaskan.
"Saya ini anak SMP, tapi dikasih ujian universitas," kata Bima.
Bukan salah Bima juga sebenarnya. Paling fatal adalah kesalahan dalam bentrok agenda Timnas dengan kompetisi.
Saat kompetisi di negara lain sudah berhenti, Indonesia malah mengambil kebijakan berbeda. Kompetisi jalan, Timnas tetap main.
Fenomena ini sudah terjadi berulang kali. Dan banyak yang merasa, ini adalah penyebab utama Timnas melempem lantaran tenaga pemain sudah terkuras.
"Pastinya capek. Makanya ke depan jadwal disusun lebih bagus lagi. Kalau Timnas main harusnya bisa dihormati," ujar Riko.
Manajemen dalam jadwal kompetisi dengan Timnas memang jadi PR selama bertahun-tahun. Alfred Riedl, mantan pelatih Timnas, berulang kali mengalaminya.
Riedl merasakan betul dampak buruk dari bentroknya jadwal kompetisi dengan agenda Timnas.
"2014 menjadi persiapan terburuk. Saya merasakan, bagaimana para pemain kelelahan usai membela klub di kompetisi. Cuma sekitar tujuh hingga 10 hari sebelum turnamen di Hanoi, kami memiliki skuat komplet. Perlu waktu lebih lama untuk menyiapkan tim sebelum turnamen besar. Terlebih, dalam sesi latihan juga harus dipikirkan penanganannya sampai tim siap menghadapi laga perdana," ujar Riedl.
Pengalaman demi pengalaman yang sudah dituai, seharusnya bisa jadi pelajaran bagi PSSI untuk berbenah, demi Timnas yang lebih baik. 2019 menjadi awal bagi PSSI untuk memperbaikinya.
Bisa PSSI?