Mereka yang Masih Bersuara Miring soal RUU 'Tax Amnesty'

Rapat pembahasan Tax Amnesty
Sumber :
  • Chandra G Asmara / VIVA.co.id

VIVA.co.id – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memastikan bahwa Rancangan Undang Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty akan dibawa ke Sidang Paripurna DPR yang berlangsung besok, Selasa 28 Juni 2016, untuk kemudian bisa disahkan menjadi Undang Undang (UU).

Berdasarkan pantauan VIVA.co.id di Ruang Rapat Komisi XI, mayoritas fraksi partai menyetujui rancangan payung hukum ini. Namun ada beberapa fraksi partai yang masih memberikan catatan khusus. Bahkan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) justru menyampaikan nota keberatan.

Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara fraksi PDIP, I Gusti Agung Rai, dalam rapat kerja bersama pemerintah di Gedung Parlemen Jakarta. Fraksi Partai Moncong Putih tersebut menilai, era keterbukaan informasi perbankan pada 2018 mendatang akan jauh lebih realistis dibandingkan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty.

“Keterbukaan keuangan global akan mendorong keadilan dibandingkan memberi pengampunan pajak dengan tarif yang masih diperdebatkan. Kami memberikan nota keberatan,” tegas Agung di Gedung DPR, Jakarta, Senin 27 Juni 2016.

Secara garis besar, PDIP memandang bahwa keberhasilan tax amnesty ini akan tetap bergantung pada reformasi perpajakan. Menurutnya, masih perlu adanya sinkronisasi antara kebijakan tax amnesty dengan Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) agar terakselerasi secara maksimal.

Namun sampai saat ini, pembahasan revisi RUU KUP masih belum dilaksanakan. Di samping itu, pemberian tarif bagi para peserta tax amnesty pun ikut dipersoalkan. Agung mengatakan, Panitia Kerja belum menyatukan pendapat mengenai tarif yang mencerminkan keadilan.

“Harus ada pemisahan tarif deklarasi dengan repatriasi. Harta yang sudah berada di dalam Indonesia, terkena denda 10 persen di tiga bulan pertama dan 15 persen di tiga bulan berikutnya,” katanya.

Selain Fraksi PDIP, Ecky Awal Mucharram yang merupakan Juru Bicara Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menegaskan bahwa PKS secara tegas menolak pemberlakuan kebijakan tax amnesty karena masih adanya pasal-pasal krusial yang dianggap belum sesuai.

“Kami keberatan namun kami menghargai proses pembahasan. Kami selanjutnya menyerahkan pengambilan keputusan di tingkat paripurna,” kata Ecky.

Menurut Ecky, objek dari tax amnesty yang mencakup Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sangat tidak lazim dibandingkan penerapan kebijakan tax amnesty di negara-negara lain.

“Lazimnya itu hanya PPh. Terkait utang pajak juga tidak diampuni. Yang diampuni adalah sanksi administrasi dan pidana perpajakan,” tuturnya.

Selain itu ditegaskan Ecky, langkah pemerintah yang memasukkan potensi penerimaan negara dari kebijakan tax amnesty dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2016 sebesar Rp165 triliun dianggap terlalu menggebu-gebu.

“Batas waktu 31 Maret 2017 tidak sejalan dengan cut off APBN. Dalam APBNP sudah dimasukkan penerimaan Rp165 triliun. Ini semakin menambah ketidakpastian penerimaan 2016 bisa tercapai,” katanya.