Impor Daging Mencekik Peternak Sapi
- VIVA.co.id/ Daru Waskita
VIVA.co.id – Laki-laki setengah baya itu baru saja memberi makan sapi dan kambingnya di kandang kelompok. Dia pun hanya tertegun melihat seekor sapi peliharaannya.
Tatapan matanya pun terlihat kosong mengingat 10 ekor sapi yang ia pelihara kini berganti kambing yang jumlah lumayan banyak.
Laki-laki setengah baya yang diketahui bernama Soim (55) merupakan satu dari 70-an pemilik kandang ternak sapi di Kelompok Ternak Sidomulyo, Dusun Segoroyoso II, Desa Segoroyoso, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Pada 2011, Soim yang juga ketua Kelompok Ternak Sidomulyo mengatakan, harga sapi jatuh sedangkan harga pakan melonjak tajam dan ada pilihan sapi harus dijual daripada merugi terus-menerus.
"Satu per satu sapi saya jual untuk disembelih kepada pedagang sapi di Segoroyoso, meski harga murah," kata Soim, saat ditemui di kandang Kelompok Ternak, Minggu 26 Juni 2016.
Harga sapi yang jatuh pada 2011 akibat pembukaan keran impor pemerintah kala itu dan juga harga pakan yang mahal serta tidak mungkin lagi dijangkau oleh peternak.
"Populasi ratusan ternak sapi menyusut drastis karena hampir semua pemilik ternak di kandang ternak ini menjual sapinya karena tak mampu memberi makan sapi," tuturnya.
Kandang yang kosong pun hanya diisi dengan ternak kambing yang harganya relatif murah dan pakannya masih bisa diperoleh di ladang atau sawah.
"Saat ini, perbandingannya satu sapi banding 10 ekor kambing yang ada di kandang ternak ini," ungkapnya.
Pada 2013, harga sapi kembali merangkak naik, namun peternak tak kuat untuk membeli bibit. Jika pun kuat hanya beli satu atau dua ekor sapi.
"Uang hasil jual sapi yang dulu untuk keperluan anak sekolah dan kehidupan sehari-hari," katanya.
Selang tiga tahun dari harga sapi yang relatif baik yaitu sekitar Rp45 ribu per kilogram sapi hidup, kini badai datang lagi dari kebijakan pemerintah yang menggenjot impor demi menurunkan harga daging sapi.
“Kami baru aja akan bangkit, namun dihantam lagi oleh pemerintahan yang tujuannya baik, namun mematikan peternak sapi," tuturnya.
Kebijakan impor daging sapi ternyata justru merugikan peternak demi memenuhi kebutuhan daging sapi yang paling banyak dikonsumsi orang perkotaan dibandingkan orang desa.
"Memang, konsumen yang jumlahnya sedikit itu diuntungkan, namun produsen dalam hal ini peternak sapi dimatikan pelan-pelan. Harga daging sapi yang turun membuat harga sapi juga anjlok," kata Soim.
Astari, bendahara Kelompok Ternak Sidomulyo mengatakan, kebijakan dari pemerintah yang tidak konsisten dengan program swasembada daging ini justru mematikan para peternak.
"Harga daging sapi turun, otomatis harga sapi hidup turun, namun harga pakan sapi mulai dari kulit kedelai (kleci), bekatul, konsentrat, dan ampas ketela naik semua. Bagaimana peternak sapi tidak akan mati," katanya.
Harusnya, menurut dia, pemerintah jika ingin mewujudkan swasembada daging, harga pakan ternak sapi disubsidi, impor bakalan sapi juga disubsidi dan transfer teknologi juga diberikan kepada peternak sapi.
"Bagaimana membuat komposisi pakan sapi agar terpenuhi kebutuhan gizi dan nutrisi untuk sapi juga harus disosialisasikan kepada peternak. Kalau tidak, maka selamanya peternak akan memelihara sapi dengan cara konvensional," tuturnya.
Formula Pakan Ternak
Beruntung, di Segoroyoso ada sosok Ilham Jayadi yang merupakan ketua Paguyuban Peternak Sapi Segoroyoso yang menemukan formulasi pakan ternak yang memacu sapi bisa cepat gemuk.
"Namun demikian, jika diterapkan juga, formulasi pakan tersebut tidak sebanding dengan harga sapi yang kini jatuh lagi," katanya.
Setiap hari, kata Astari, untuk memberi pakan sapi, penggemukan minimal dibutuhkan biaya sekitar Rp30 ribu hingga Rp40 ribu dan jika satu bulan uangnya cukup besar. Namun, ketika akan dijual, biaya pakan dan modal membeli sapi yang digemukkan tetap rugi.
"Ndak jebul harga sapi dengan biaya pakan yang harus dikeluarkan setiap harinya. Itu pun uangnya mengurangi jatah untuk keluarga lho," ujarnya.
Ilham Jayadi mendukung langkah pemerintah agar harga daging sapi turun. Namun, dalam kenyataannya justru kebijakan itu mematikan para peternak sapi, karena harga daging sapi Rp80 ribu per kilogram dengan ketersediaan sapi siap potong di Indonesia tidak akan mungkin terjadi.
"Harga daging sapi Rp80 ribu bisa, namun untuk jenis daging jeroan. Untuk daging kualitas satu masih di atas Rp100 ribu dengan stok sapi siap potong yang ada saat ini," katanya.
Ilham mencoba untuk membuat formulasi pakan sapi yang murah, namun semua unsur ada agar sapi cepat gemuk tercapai. Dalam kenyataannya, harga bahan baku untuk membuat formulasi pakan sapi meningkat, sehingga tetap saja harga formulasi tersebut jatuhnya mahal.
"Konsentrat itu yang membuat pabrik dan harga tidak pernah turun, namun naik terus. Bagaimana peternak mampu membeli pakan sapi," tuturnya.
Mirisnya lagi, kata Ilham, saat ini pemotongan daging sapi karena permintaan banyak tidak lagi memikirkan sapi betina yang subur atau pejantan.
"Ya, terpaksa sapi betina yang subur tetap saja dipotong karena permintaan banyak," ujarnya.
Jika kondisi ini terus berlangsung, dipastikan swasembada daging sapi hanya impian semata dan ketergantungan ekspor daging sapi semakin tinggi.
"Di Segoroyoso, dalam seharinya memotong puluhan ekor sapi untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di DIY karena 40 persen daging sapi dipasok dari Segoroyoso. Jika pejantan yang akan dipotong habis, tak menutup kemungkinan sapi betina juga akan dipotong. Itu sudah terjadi di daerah lain," katanya.
Ketua Umum Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) sekaligus Dekan Fakultas Peternakan UGM, Ali Agus, DAA mengatakan, kebutuhan daging sapi di Indonesia hanya untuk memenuhi 16 persen penduduk Indonesia dan mereka yang tinggal di perkotaan saja. Sementara itu, yang tinggal di daerah, jarang makan daging sapi. Jika pun makan ketika ada acara syukuran, pernikahan atau acara lainnya saja.
"Sebaiknya impor daging sapi ini untuk warga perkotaan saja dan dilakukan dalam waktu tertentu saja, karena impor sapi sangat merugikan peternak sapi," katanya.
Untuk jangka panjang, sebaiknya pemerintah melakukan impor sapi bakalan saja dan dijual kepada peternak sapi di Indonesia. Bukan hanya kepada peternak besar yang kini meraup untung banyak atas mahalnya daging sapi.
"Untuk mencapai swasembada daging sapi harus dimulai dengan penyediaan bakalan sapi, ketersediaan pakan ternak yang terjangkau dan juga transfer teknologi dalam budidaya sapi dari pemerintah ke peternak sapi," ujarnya.
Ali menyatakan, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dalam impor daging sapi kini telah berdampak pada harga daging sapi yang turun, sehingga peternak merugi dan enggan lagi menjalankan peternakan sapi karena selalu dirugikan.
"Memelihara sapi bagi peternak sapi di Indonesia seperti "raja kaya" bukan sekadar memelihara, besar, dan dijual," katanya.