Penyebab Harga Daging Sapi di Pasaran Terus 'Menggila'

Ilustrasi/Pedagang daging sapi di Aceh
Sumber :
  • Zulfikar Husein/VIVAnews

VIVA.co.id – Harga daging sapi jelang Ramadan sudah melejit di pasaran. Hal ini tentu merugikan masyarakat, di mana kebutuhan daging saat Ramadan dan Idul Fitri biasanya jauh meningkat dari waktu-waktu biasanya.

Menurut Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Enny Hartati, naiknya harga daging sapi di pasaran, dikarenakan data konsensi sapi peternak rakyat tidak valid dan terintegrasi. Sementara pemerintah, saat ini sudah gencar untuk tidak mengimpor dari luar.

Enny menjelaskan, data konsensi sapi peternak rakyat yang masuk ke pasar dan data konsensi sapi ke developer hitungannya tidak sesuai. Termasuk juga hitungan konsumsi perkapita, dan permintaan. Salah satu data saja, kata dia, sudah menimbulkan konsensi harga dan akan berpotensi menumbuhkan kenaikan harga yang “menggila”.

"Daging sapi itu antara permintaan berapa dan suplai berapa. Skema seperti itu harus didukung oleh data yang benar-benar valid. Persoalannya sekarang, data dari tiga-tiganya tidak ada yang sinkron. Data konsumsi itu beda semua antara Kemendag, BPS dan pertanian," kata Enny saat dihubungi VIVA.co.id, Minggu, 29 Mei 2016.

Kata Enny, data populasi sapi mungkin sudah betul. Namun, beberapa data yang datang dari peternak rakyat tidak terverifikasi. Sehingga muncul data seperti itu, di mana memberikan ruang bermainnya para spekulan.

"Nah yang menguasai data yang bener itu fiktif. Yang menguasai data itu yang akhirnya bisa berspekulasi, termasuk juga kebijakan impor," kata dia.

Enny mengungkapkan, persoalan mendasar seperti ini tidak terjadi pada menjelang hari raya besar saja. Bahkan, gejolak harga di dalam negeri merata di semua daerah. "Hari ini kasus itu hampir semua daerah semua mengalami naiknya harga daging, di atas Rp120 ribu, sekali pun mereka punya sentral-sentral peternakan sapi," ujar dia.

Artinya, kata Enny, data harga daging tidak terintegrasi, dan jauh berseberangan dengan pasar internasional. "Pasar internasional itu enggak ada harga daging per kilogramnya, itu di atas Rp65 ribu. Paling mahal Rp60 ribu itu sudah daging bagus kan. Bagaimana mungkin terjadi di saat harga lebih dari dua kali lipat. Ini kan satu kebijakan yang enggak benar," kata dia.

Enny mengungkapkan, saat ini terdapat satu kebijakan yang seolah-olah untuk melindungi kedaulatan daging dalam negeri untuk membatasi impor, tapi justru mengakibatkan gejolak harga daging yang tinggi.

"Mudah memecahkan begini, dengan kondisi seperti ini siapa yang diuntungkan? Mulai dari kajiannya itu saja. Siapa yang diuntungkan, siapa yang terkait kebijakan itu, akan lebih mudah menelusurinya," tuturnya.