Kasus Panama Papers, Momentum Pemerintah Basmi Mafia Pajak
- www.commondreams.org
VIVA.co.id - Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Ah Maftuchan, menyatakan jika kasus Panama Papers seharusnya menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk segera membasmi praktik penghindaran pajak, pengelakan pajak, dan praktik pencucian uang oleh wajib pajak di Tanah Air. Hal itu, berlaku baik untuk perorangan maupun badan hukum.
"Presiden perlu segera membentuk Gugus Kerja Anti Mafia Kejahatan Pajak yang berisi gabungan antara lembaga pemerintah dan non-pemerintah yang kredibel. Gugus Tugas bekerja untuk mengusut daftar nama yang masuk Panama Papers dan negara surga pajak lainnya,” kata Maftuchan dalam keterangan resminya, Kamis, 7 April 2016.
Hal ini terkait dengan banyak pengusaha dan elite di Indonesia yang masuk daftar dalam Panama Papers. Kata dia, ini mengonfirmasi bahwa praktik-praktik kotor penghindaran dan pengelakan pajak telah menjadi ancaman serius bagi Indonesia dalam mobilisasi penerimaan pajak untuk pembiayaan pembangunan.
"Panama Papers juga menunjukkan bahwa potensi penerimaan pajak Indonesia yang 'menguap' jumlahnya sangat besar," katanya.
Maka itu, dia meminta pemerintah untuk membatalkan rencana pemberian tax amnesty kepada wajib pajak superkaya, karena akan kontra-produktif terhadap upaya optimalisasi penerimaan pajak.
"Ini juga akan menjadi langkah mundur penegakan hukum perpajakan-pencucian uang. Di samping itu, tax amnesty akan menurunkan tingkat kepatuhan wajib pajak untuk membayar pajak, tax amnesty akan melemahkan ‘wibawa’ pemerintah di hadapan orang superkaya dan korporasi. Tax amnesty juga akan melukai wajib pajak kecil-menengah (kaum salariat, kaum bergaji bulanan) yang selama ini patuh bayar pajak," kata Maftuchan.
Selanjutnya...Indonesia posisi ke-7 negara yang memiliki aliran uang haram tertinggi.
Sementara itu, Program Manager International NGO for Indonesia Development (INFID) Khoirun Nikmah mengatakan, Panama Papers juga telah menunjukkan buruknya sistem keuangan dan ekonomi global.
“Sistem ekonomi harus segera dilakukan penataan ulang. Indonesia perlu mempelopori perubahan tata kelola keuangan global terkait sistem perpajakan, penghentian rezim kerahasiaan data perpajakan dan perbankan, pertukaran informasi antarnegara dan penguatan hukum, administrasi dan kelembagaan perpajakan," katanya.
Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo dikatakan dapat menggunakan forum G-20 sebagai ruang untuk mendesakkan agenda-agenda tersebut. Selain itu, Jokowi dapat mengusulkan pembentukan Badan Perpajakan Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Merujuk Global Financial Integrity (GFI) 2015, dilaporkan jika setiap tahun negara berkembang kehilangan sebanyak US$1 triliun akibat korupsi, penggelapan pajak dan pencucian uang. Potensi pajak yang menguap dari Indonesia karena praktik pelarian uang haram itu tiap tahun diprediksi oleh GFI jumlahnya hampir Rp200 triliun.
“Tingginya aliran uang haram dari Indonesia diakibatkan rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak, tingginya prevalensi korupsi pajak, praktik penggelapan dan penghindaran pajak dengan metode perekayaan keuangan keuangan yang rumit. Selain itu, rendahnya kinerja otoritas pajak Indonesia,” ujar Sekretaris Jendral Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko.
Koalisi Publish What You Pay Menyebutkan, Indonesia berada pada posisi ke-7 negara dari negara-negara yang memiliki aliran uang haram tertinggi. Dalam rentang tahun 2003-2012 Indonesia tercacat mengalirkan dana sebesar US$187.844 juta atau setara Rp1.699 triliun atau rata-rata per tahun mencapai US$18.784 juta atau setara Rp167 triliun.
"Dengan metode perhitungan yang sama, PWYP Indonesia mencatat dugaan total aliran uang haram di Indonesia di tahun 2014 sebesar Rp2.277 triliun atau setara dengan 11,7 persen dari total APBN-P Tahun 2014. Khusus di sektor pertambangan nilai aliran uang haram diperkirakan mencapai Rp23,89 triliun, di mana Rp21,33 triliun berasal dari transaksi perdagangan ilegal dan Rp2,56 triliun berasal dari aliran uang panas," ungkap Aryanto Nugroho, Program Manager PWYP Indonesia.
Kata dia, di tengah rendahnya tax ratio sektor pertambangan yang hanya mencapai 9,4 persen mengindikasikan masih maraknya praktik penghindaran dan pengemplangan pajak di sektor pertambangan.