Poin Penting yang Tercantum dalam RUU PPKSK

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro.
Sumber :
  • ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

VIVA.co.id - Menteri Keuangan, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, mengatakan, pihaknya bersama FKSSK menyampaikan lima poin utama kepada Komisi XI DPR terkait pembahasan RUU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK).

Kelima poin ini telah menjadi kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Pertama, penguatan peran dan fungsi serta koordinasi keempat lembaga yang bergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Menurut Bambang, dalam RUU ini, KSSK harus melaksanakan upaya yang optimal dalam rangka pencegahan krisis sistem keuangan.

"RUU ini juga mengamanatkan kepada keempat lembaga tersebut untuk secara bersama-sama melakukan koordinasi yang reguler dan intensif, baik dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan, maupun penanganan kondisi krisis sistem keuangan," kata Bambang, melalui keterangan pers yang diterima VIVA.co.id, Kamis, 17 Maret 2016.

KSSK, sebelumnya bernama FKSSK, terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan.

Kedua, lanjut Bambang, mendorong upaya pencegahan krisis melalui penguatan fungsi pengawasan perbankan, khususnya bank yang ditetapkan sebagai bank sistemik.

Penetapan daftar bank sistemik harus dilakukan sejak awal pada saat stabilitas sistem keuangan dalam kondisi normal, dan harus dilakukan pemutakhiran daftar bank sistemik setiap enam bulan sekali.

Dua metode baru

Untuk pertama kalinya, penetapan daftar bank sistemik dilakukan paling lambat tiga bulan sejak diundangkannya aturan ini. "Artinya, penetapan sistemik atau tidaknya suatu bank, tidak boleh dilakukan pada saat bank tersebut mengalami permasalahan," tuturnya.

Ketiga, penanganan permasalahan bank dengan mengedepankan konsep bail-in, yaitu penanganan permasalahan likuiditas dan solvabilitas bank menggunakan sumberdaya bank itu sendiri yang berasal dari pemegang saham dan kreditur bank, hasil pengelolaan aset dan kewajiban bank serta kontribusi industri perbankan.

Melalui pendekatan bail-in, diharapkan penanganan permasalahan bank tidak membebani keuangan negara. Keempat, metode penanganan permasalahan likuiditas dan solvabilitas bank, diatur secara lengkap dan komprehensif.

"Jika bank mengalami permasalahan solvabilitas, RUU ini memperkenalkan dua metode baru untuk penanganan yang lebih efektif," tambah Bambang.

Dua metode yang dimaksud adalah pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank kepada bank lain sebagai bank penerima (purchase and assumption), atau pengalihan kepada bank baru yang didirikan sebagai bank perantara (bridge bank).

Terakhir, Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan memegang kendali penuh dalam penanganan krisis sistem keuangan.