Polemik Ekspor Kratom, BRIN Pacu Riset untuk Temukan Solusi bagi Pengekspor dan Petani
- BNN
Pontianak, VIVA – Polemik terkait ekspor kratom (Mitragyna speciosa) masih menjadi sorotan hingga saat ini. Ribuan ton kratom gagal dikirim oleh para eksportir akibat regulasi berlapis yang diterapkan pemerintah. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendorong percepatan riset kratom untuk memberikan kepastian hukum bagi petani dan eksportir.
Peneliti BRIN, Profesor Masteria Yunovilsa Putra, menyebutkan bahwa pro dan kontra terhadap kratom masih kuat di tengah masyarakat.
“Kratom adalah tanaman asli Indonesia yang memiliki sisi positif dan negatif. BRIN sejak tahun lalu telah diminta pemerintah untuk meneliti dampak kratom ini,” ujar Masteria, Selasa 28 Januari 2025.
Menurutnya, aturan ekspor yang diberlakukan Kementerian Perdagangan bertujuan untuk menjaga kualitas kratom yang diekspor.
“Kemendag sedang berupaya memastikan kratom memenuhi standar internasional, mengingat adanya isu kontaminasi logam berat dan mikrobiologi yang membuat Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat menerapkan import alert terhadap kratom asal Indonesia,” jelasnya.
Masteria juga menilai bahwa diplomasi dengan FDA penting dilakukan agar status import alert dapat dicabut.
"Eksportir harus memenuhi standar sesuai aturan Permendag dan quality control (QC) yang diawasi laboratorium surveyor,” tambahnya.
Masteria mendorong percepatan riset kratom oleh pemerintah, termasuk Kementerian Kesehatan, BRIN, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Langkah ini dinilai penting untuk menghasilkan justifikasi saintifik yang diterima semua pihak.
“Diskusi bersama sangat diperlukan agar ada kejelasan hukum untuk para petani dan eksportir kratom,” ujarnya.
Dia juga menyoroti potensi pembahasan kratom dalam pertemuan UN Commission on Drugs yang akan berlangsung Maret mendatang.
“Beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat berusaha mem-ban kratom. Jika WHO memasukkan kratom ke golongan psikotropika, ini akan berdampak buruk bagi petani dan eksportir,” ungkapnya.
Masteria menambahkan, hasil riset BRIN menunjukkan kratom memiliki manfaat medis, seperti potensi sebagai anti kanker, anti inflamasi, dan analgesik. Namun, BRIN tetap berpijak pada pendekatan saintifik dalam menentukan sikap terhadap penggunaan kratom.
“Kami akan mengutarakan hasil penelitian secara objektif, baik manfaat maupun risiko kratom. Keputusan akhir tetap berada di tangan regulator seperti Kemenkes dan BPOM,” pungkasnya.
Dengan percepatan riset kratom, diharapkan ada kepastian hukum bagi petani dan eksportir, sekaligus menjawab berbagai isu internasional terkait penggunaan tanaman ini.