Apa yang Sebenarnya Diinginkan Gen Z dari Work Life Balance?
- freepik.com/wayhomestudio
VIVA – Gen Z yang terdiri dari individu yang lahir antara 1997 hingga 2012, kini mulai memasuki dunia profesional pada tahun 2024 dengan rentang usia 12 hingga 27 tahun. Banyak dari mereka yang sudah mulai berkarier, baik sebagai pegawai tetap, pekerja kontrak, atau bahkan magang. Sebagai generasi yang dibesarkan di tengah perkembangan teknologi, pola pikir dan karakteristik mereka dalam dunia kerja cenderung berbeda dengan generasi sebelumnya, yang sering menimbulkan berbagai pendapat dari kalangan profesional yang lebih senior.
Salah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh Gen Z dalam pekerjaan adalah fleksibilitas waktu dan lingkungan kerja yang lebih terbuka. Mereka lebih cenderung mencari pekerjaan dengan jam kerja yang tidak kaku, serta suasana kerja yang lebih santai dan tidak terlalu formal. Gen Z menginginkan perusahaan yang mendukung hubungan antar kolega yang lebih casual, di mana mereka dapat merasa nyaman dan terhubung dengan rekan kerja tanpa tekanan formalitas. Selain itu, mereka sangat memperhatikan kesejahteraan mental dan fisik, serta mengutamakan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Gen Z sering kali menetapkan batasan yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Mereka cenderung tidak mau dihubungi atau terganggu oleh pekerjaan setelah jam kerja, karena mereka ingin fokus pada kegiatan pribadi atau bersantai. Mereka juga enggan untuk bekerja lembur, karena mereka memiliki kepentingan lain di luar pekerjaan. Meskipun ini sering dipandang oleh beberapa pihak sebagai sikap yang kurang profesional atau "terlalu sensitif," sebenarnya ini adalah bagian dari upaya mereka untuk mencapai keseimbangan hidup yang sehat, yang dikenal dengan istilah work life balance.
Pandangan Gen Z ini seharusnya tidak dianggap sebagai bentuk kelemahan, tetapi sebagai cara mereka untuk menjaga kesejahteraan jangka panjang. Dengan menekankan pentingnya keseimbangan ini, mereka berusaha untuk tetap produktif dan bahagia baik dalam kehidupan profesional maupun pribadi. Hal ini pada gilirannya dapat berdampak positif, tidak hanya bagi diri mereka sendiri, tetapi juga bagi perusahaan yang mereka bekerja.
Sebagai referensi, penulis telah melakukan survei terhadap 40 responden untuk mengetahui lebih dalam mengenai perspektif mereka tentang work life balance, serta karakteristik dan kebiasaan kerja mereka. Hasil survei yang dilakukan terhadap 40 responden memberikan gambaran yang menarik tentang dinamika work life balance di kalangan generasi muda yang sedang bekerja atau belajar. Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas responden adalah perempuan, dengan jumlah 26 orang (65%), sementara laki-laki hanya 14 orang (35%). Sebagian besar responden berada dalam rentang usia 21 hingga 24 tahun, yang menunjukkan bahwa mayoritas yang berpartisipasi adalah individu yang berada dalam fase awal karir atau studi mereka.
Dalam hal status pekerjaan, mayoritas responden berstatus sebagai pekerja full-time 50% (20 orang), sementara 42,5% (17 orang) responden masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa, dan hanya 7,5% (3 orang) yang bekerja sebagai freelancer. Data ini menggambarkan bahwa sebagian besar responden sudah memasuki dunia kerja, meskipun masih ada sejumlah besar yang fokus pada pendidikan mereka.
Mengenai durasi kerja atau studi, mayoritas responden menghabiskan waktu sekitar 8 jam per hari, dengan 42,5% (17 orang) melaporkan durasi tersebut. Sementara itu, 17,5% (7 orang) menghabiskan 7 jam per hari, dan 15% (6 orang) menghabiskan 9 jam per hari. Durasi lainnya bervariasi, dengan beberapa responden melaporkan menghabiskan 5 jam (2,5% atau 1 orang), 10 jam (10% atau 4 orang), bahkan ada yang bekerja atau belajar hingga 12 jam (2,5% atau 1 orang) dan 15 jam (2,5% atau 1 orang). Rata-rata durasi kerja atau studi per hari yang dihitung dari seluruh responden adalah sekitar 8 jam.
Namun, ketika diminta untuk memilih durasi yang ideal untuk bekerja atau belajar, mayoritas responden lebih memilih durasi yang lebih pendek. Sebanyak 72,5% (29 orang) memilih durasi antara 4 hingga 6 jam per hari sebagai waktu ideal untuk bekerja atau belajar. Hanya 20% (8 orang) yang merasa bahwa durasi 7 hingga 9 jam adalah waktu yang pas, sementara 7,5% (3 orang) lebih memilih durasi kurang dari 4 jam per hari. Ini menunjukkan bahwa meskipun banyak yang menghabiskan waktu lebih lama dalam keseharian mereka, mereka merasa bahwa waktu yang lebih singkat akan lebih optimal.
Kepuasan mereka terhadap work life balance yang mereka jalani, mayoritas responden, yaitu 72,5% (29 orang), merasa cukup puas (skala 3). Sementara itu, 15% (6 orang) merasa puas (skala 4) dan hanya 2,5% (1 orang) yang sangat tidak puas (skala 1). Tidak ada satu pun responden yang merasa sangat puas (skala 5), yang mungkin mencerminkan adanya ruang untuk perbaikan dalam keseimbangan antara pekerjaan/studi dan kehidupan pribadi mereka.
Menanggapi apakah waktu untuk kehidupan pribadi mereka cukup dibandingkan dengan waktu bekerja atau belajar, 62,5% (25 orang) responden merasa bahwa waktu untuk kehidupan pribadi mereka sudah cukup, namun 25% (10 orang) merasa waktu tersebut tidak cukup, dan 10% (4 orang) merasa sangat cukup. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar merasa cukup, ada sejumlah orang yang merasa perlu waktu lebih banyak untuk diri mereka sendiri.
Fleksibilitas waktu kerja atau belajar juga menjadi isu penting bagi responden. Sebanyak 47,5% (19 orang) responden menganggap fleksibilitas waktu sangat penting (skala 4), dan 40% (16 orang) merasa cukup penting (skala 3). Hanya sebagian kecil, yaitu 2,5% (1 orang), yang tidak menganggap fleksibilitas waktu penting sama sekali.
Ketika ditanya apakah perusahaan atau sekolah memberikan dukungan yang cukup untuk menjaga work life balance, mayoritas responden, yaitu 75% (30 orang), merasa bahwa dukungannya cukup. Namun, 7,5% (3 orang) merasa dukungannya tidak cukup, dan 17,5% (7 orang) merasa dukungannya cukup baik. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar merasa didukung, masih ada ruang untuk perusahaan atau sekolah meningkatkan dukungannya dalam hal keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi.
Selain itu, kendala terbesar yang dihadapi responden dalam mencapai work life balance yang seimbang adalah kurangnya waktu untuk diri sendiri, yang dirasakan oleh 42,5% (17 orang) responden. Selain itu, 30% (12 orang) merasa beban kerja yang terlalu banyak menjadi penghambat, sementara 15% (6 orang) merasa teknologi yang selalu terhubung dengan pekerjaan atau studi menghalangi keseimbangan mereka. Sebagian kecil, 5% (2 orang), melaporkan adanya gangguan dari lingkungan sekitar.
Untuk mengatasi stres yang disebabkan oleh pekerjaan atau studi, mayoritas responden, yaitu 42,5% (17 orang), merasa bahwa kombinasi berolahraga dan tidur/istirahat adalah cara yang paling efektif. Sementara itu, 22,5% (9 orang) memilih bermain game atau menonton hiburan bersama tidur/istirahat, dan 20% (8 orang) memilih menghabiskan waktu bersama teman/keluarga dan tidur/istirahat.
Ketika ditanya tentang apa yang paling mereka inginkan untuk meningkatkan work life balance mereka, mayoritas responden, yaitu 40% (16 orang), menginginkan beban kerja atau studi yang lebih ringan. Selain itu, 25% (10 orang) menginginkan lebih banyak waktu luang, 20% (8 orang) menginginkan dukungan kesehatan mental, dan 15% (6 orang) berharap memiliki jadwal yang lebih fleksibel. Hal ini menunjukkan bahwa beban kerja yang lebih ringan menjadi prioritas utama bagi sebagian besar responden.
Hasil survei ini memberikan gambaran yang jelas tentang keinginan dan harapan para responden untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik antara pekerjaan atau studi dengan kehidupan pribadi mereka. Banyak responden yang merasa bahwa keseimbangan ini sangat penting, namun mereka menghadapi berbagai tantangan dalam mencapainya. Fleksibilitas dalam waktu kerja atau belajar, dukungan yang lebih baik dari perusahaan atau institusi pendidikan, serta pengelolaan waktu yang lebih efektif menjadi faktor-faktor utama yang dianggap penting oleh para responden dalam menciptakan work life balance yang lebih baik. Dengan memberikan perhatian lebih pada aspek-aspek ini, baik individu maupun organisasi dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi kesejahteraan mental dan fisik, yang pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup.
Setelah itu, dapat ditambahkan bahwa perubahan-perubahan yang diinginkan oleh responden, seperti beban kerja yang lebih ringan dan adanya lebih banyak waktu luang, mencerminkan kebutuhan mereka untuk mengelola stres dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Tidak hanya itu, perhatian terhadap kesehatan mental juga menjadi prioritas, dengan banyak responden yang berharap untuk mendapatkan dukungan yang lebih besar dalam aspek ini. Hal ini semakin penting mengingat pengaruh besar yang dirasakan oleh sebagian besar responden terkait keseimbangan hidup dan kesehatan mental mereka.
Dengan begitu, untuk menciptakan work life balance yang lebih baik, perlu adanya kolaborasi antara individu dan organisasi untuk menemukan solusi yang saling menguntungkan. Menyediakan waktu yang lebih fleksibel dan memperhatikan kesejahteraan mental karyawan atau mahasiswa bukan hanya dapat meningkatkan keseimbangan hidup mereka, tetapi juga berpotensi untuk meningkatkan motivasi dan kinerja mereka di tempat kerja atau dalam studi. Oleh karena itu, penerapan kebijakan yang mendukung keseimbangan hidup yang sehat perlu menjadi perhatian utama bagi berbagai pihak, terutama dalam menghadapi tuntutan dunia kerja dan pendidikan yang semakin dinamis.