DPR Minta PP Kesehatan Lindungi Industri Hasil Tembakau
- DPR RI
Jakarta, VIVA - Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan mengatakan pemerintah harus mempertimbangkan dampak besar yang diterima rakyat kecil dari implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Menurut dia, ruang lingkup pengamanan zat adiktif yang termuat dalam Pasal 429-463 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2024, dinilai akan berdampak ganda (multiplier effect) bagi kelangsungan industri kretek nasional legal di Tanah Air.
“Industri tembakau memegang peranan penting terhadap ekonomi nasional, terutama cukai rokok setiap tahun sangat besar. Berdasarkan data bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir cukai dari rokok mencapai Rp 1.516,16 triliun sepanjang 10 tahun terakhir,” kata Daniel di Jakarta pada Kamis, 19 Desember 2024.
Adapun, total jumlah cukai dari rokok selama 10 tahun terakhir adalah Rp103,56 triliun (2013); Rp112,54 triliun (2014); Rp139,52 triliun (2015); Rp138 triliun (2016); Rp147,7 triliun (2017); Rp152,9 triliun (2018); Rp164,87 triliun (2019); Rp170,24 triliun (2020); Rp188,81 triliun (2021); dan Rp198,02 triliun (2022).
Diketahui, salah satu pasal dalam PP 28/2024 yang dianggap dapat berdampak terhadap industri rokok ada pada Pasal 435, yaitu setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik harus memenuhi standarisasi kemasan yang terdiri atas desain dan tulisan. Menurut dia, kebijakan tersebut dapat mengakibatkan penurunan permintaan bahan baku rokok.
"Sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor industri hasil tembakau (IHT) dan produk turunannya atau 1,6% dari total penduduk yang bekerja (Indef, 2024). Belum lagi sektor hulu dengan jumlah petani mencapai 6.172.482 orang, dengan luas garapan kebun tembakau mencapai 247.064 ha yang tersebar di 15 provinsi (APTI, 2024)," ungkap Anggota Fraksi PKB ini.
Kata Daniel, memang perlu ada regulasi yang menguntungkan bagi industri ini. Akan tetapi, ia menyebut selama ini industri hasil tembakau menjadi sapi perah bagi pemerintah di mana setiap tahun selalu dilakukan penyesuaian terhadap tarif cukai sehingga berdampak kepada industri tembakau.
Untuk itu, lanjut dia, DPR RI mendorong adanya Undang-Undang strategis nasional. Sebab, Undang-Undang ini penting agar ada perlindungan terhadap komoditas strategis nasional. Di mana, komoditas ini memliki peran penting dalam perekonomian nasional seperti penciptaan lapangan kerja, kontribusi terhadap pendapatan negara salah satu komoditas strategis adalah tembakau.
"Dulu sempat diusulkan dengan inisiatif DPR yakni RUU Pertembakauan, namun karena berbagai penolakan sehingga RUU pertembakauan tidak dilanjutkan. Padahal dengan adanya UU ini, kita memiliki payung kuat dalam melindungi petani kita, pekerja kita di industri manufaktur rokok. Industri ini sangat berjasa dalam memberikan pendapatan bagi negara dan menopang ekonomi warga yang mencapai jutaan jiwa," jelas dia.
Sementara Anggota GAPRINDO, Estyo Herbowo mengatakan rokok ilegal akan menurunkan penjualan produk resmi, sehingga berdampak pada penurunan produksi. Menurut dia, industri hasil tembakau (IHT) harus bisa terlindungi dari serangan rokok ilegal yang dapat mematikan industri.
Ia mengatakan produksi, peredaran dan penjualan rokok ilegal harus dipandang sebagai sebuah kejahatan yang luar biasa atau extraordinary crime, sehingga pemberantasannya tidak bisa dilakukan secara biasa. Terlebih, harga jual eceran (HJE) rokok di Indonesia akan mengalami kenaikan meskipun tarif cukai hasil tembakau tetap tidak berubah. Penyesuaian ini ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 dan 97 Tahun 2024.
"Pemerintah sendiri menetapkan bahwa tidak ada kenaikan tarif cukai, tapi HJE-nya dinaikkan. Sekarang fenomenanya kalau bagi dunia rokok yaitu down trading. Nah, rokok ilegal ini dampaknya sangat tinggi terhadap pemasukan negara sebagaimana kita ketahui, di tahun 2023 antara target dan penerimaan itu tidak tercapai. Tahun 2023 kalau enggak salah sekitar Rp213,5 triliun," katanya.