Ekonom Ingatkan Dampak PPN Naik Jadi 12 Persen Turunkan Daya Beli Masyarakat

Ilustrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Sumber :

Jakarta​, VIVA – Pakar ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mewanti-wanti kepada Pemerintah soal dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.

Peneliti Indef Agus Herta Sumarto mengatakan, jangan sampai kenaikan pajak tersebut malah menggerus daya beli masyarakat.

"Untuk menaikkan tax ratio kita salah satunya adalah dengan menaikkan tarif pajak, walaupun masih ada cara lain. Namun, pemerintah juga harus hati-hati jangan sampai kenaikan pajak ini malah menggerus daya beli,"  kata Agus dikutip Antara.

Ia menjelaskan, Indonesia dibandingkan negara G20 dan beberapa negara di ASEAN masih memilih tax ratio yang masih rendah.

Ilustrasi Pajak

Photo :
  • pexels.com/Nataliya Vaitkevich

Oleh karena itu, ia mengusulkan agar implementasi PPN 12 persen yang akan diterapkan pada 2025 itu tidak berpengaruh secara langsung terhadap daya beli masyarakat secara luas.

Menurut agus, pemilihan produk seperti elektronik, fesyen dan otomotif merupakan langkah yang cukup bijak karena bukanlah produk primer yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat luas.

"Jadi nanti yang terkena efek secara langsung adalah masyarakat kelas menengah atas yang memiliki penghasilan relatif tinggi," kata Agus.

Peneliti Indef itu juga memprediksi, kenaikan PPN di awal implementasi mungkin akan terasa efeknya, terutama terhadap jumlah permintaan.

Akan tetapi, mengingat konsumen adalah kelas menengah atas, sambung Agus, adaptasi dan penyesuaian pola konsumsi akan terjadi sehingga dalam jangka menengah panjang pola konsumsi akan kembali normal.

Sebagai informasi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat undang-undang (UU).

Direktorat Jenderal pajak (DJP)

Photo :
  • Antara

Wacana PPN 12 persen tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disusun pada 2021. Kala itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan hingga kebutuhan pokok masyarakat yang terimbas oleh pandemi COVID-19.

"Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok," kata Sri Mulyani.