Menjepit Masyarakat, Kenaikan Tarif PPN Lampaui Pertumbuhan Upah Riil Pekerja

ilustrasi pajak
Sumber :
  • Adri Prastowo

Jakarta, VIVA – Pemerintah akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari saat ini 11 persen, menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati sendiri sudah memastikan hal tersebut.

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan tarif PPN 12 persen ini bila diakumulasi dalam 4 tahun terakhir atau 2022-2025 naik sebesar 20 persen. 

"Dari 10 persen, ke 11 persen, kemudian ke 12 persen total kenaikan nya 20 persen, perlu dibedakan antara selisih tarif dengan kenaikan tarif. 20 persen dalam 4 tahun terakhir merupakan kenaikan tarif PPN yang sangat tinggi bahkan dibanding akumulasi kenaikan inflasi tahunan maupun pertumbuhan upah riil pekerja," ujar Bhima saat dihubungi VIVA, Selasa, 19 November 2024. 

penetapan upah minimum (ilustrasi)

Photo :
  • ANTARA/Zabur Karuru

Bhima menilai, efek kenaikan PPN 12 persen akan langsung naikan inflasi umum. Pasalnya berbagai barang nantinya akan lebih mahal harga nya. 

"Proyeksi inflasi 2025 bisa mencapai 4,5-5,2 persen year on year," ujarnya. 

Bhima melanjutkan, untuk kelas menengah yang sebelumnya sudah dihantam kenaikan harga pangan, dan sulitnya mencari pekerjaan. Maka dengan adanya kenaikan ini dikhawatirkan akan membuat daya beli menurun. 

"Khawatir belanja masyarakat bisa turun, penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, sampai kosmetik bisa melambat. Sasaran PPN ini kelas menengah dan diperkirakan 35 persen konsumsi rumah tangga nasional bergantung dari konsumsi kelas menengah," jelasnya. 

Dampak lainnya tentu saja terang Bhima, akan terjadi ke pelaku usaha. Sebab kenaikan tarif PPN berimbas ke omzet dan pada akhirnya akan ada penyesuaian kapasitas produksi hingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menurun.

"Khawatir tarif PPN naik bisa jadi PHK di berbagai sektor," ujarnya. 

Di samping itu, kenaikan tarif PPN 12 persen ini akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang dominan disumbang dari konsumsi rumah tangga. 

"Jelas kenaikan tarif PPN bukan solusi naikan pendapatan negara. Jika konsumsi melambat maka pendapatan negara dari berbagai pajak termasuk PPN justru terpengaruh. Sebaiknya rencana penyesuaian tarif PPN dibatalkan," ujarnya. 

Bhima menegaskan, bila Pemerintah ingin mendorong rasio pajak. Maka hal yang perlu dilakukan adalah memperluas objek pajak, bukan menaikkan tarif PPN. 

"Menaikan tarif pajak itu sama dengan beburu di kebun binatang alias cara paling tidak kreatif. Pemerintah sebaiknya mulai membuka pembahasan pajak kekayaan (wealth tax) dengan potensi Rp 81,6 triliun per tahun, pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon sebagai alternatif dibatalkannya PPN 12 persen," ujarnya. 

Bhima melanjutkan, saat ini terdapat dua mekanisme pembatalan kenaikan tarif PPN. Pertama dengan mengeluarkan Perpu UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan dengan merevisi pasal 7 ayat 1B. 

"Karena kondisinya sedang mendesak dan kenaikan PPN bisa ancam perekonomian maka Perpu jadi jalan paling cepat. Prabowo bisa buat Perpu super kilat untuk anulir kenaikan tarif PPN," katanya. 

Sedangkan kedua, pembatalan kenaikan PPN ini bisa dilakukan melalui revisi UU HPP di DPR pada masa sidang sebelum tutup tahun.