Perekonomian Global Masih Stagnan, OJK Waspadai Dampaknya ke Perbankan RI

Gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sumber :
  • VIVA/Andry Daud

Jakarta, VIVA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Laporan Surveillance Perbankan Indonesia (LSPI) Kuartal II-2024. Pada periode itu, kondisi perekonomian global dinilai relatif stagnan dengan ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi, serta pertumbuhan ekonomi negara-negara yang masih terdivergensi.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae mengatakan, ekonomi AS, Eropa, dan UK tumbuh meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya. Namun, ekonomi Tiongkok justru cenderung belum cukup kuat seiring lemahnya permintaan domestik dan berlanjutnya tekanan sektor properti. 

"OJK terus mencermati perkembangan volatilitas ekonomi global dan dampaknya kepada ekonomi domestik serta perbankan Indonesia. Hal tersebut dilakukan seiring dengan pengawasan perbankan secara individual yang intensif dan berkelanjutan yang diharapkan mampu menjaga stabilitas sistem keuangan dan perbankan Indonesia pada tahun ini dan tahun-tahun mendatang," kata Dian dalam keterangannya, Senin, 18 November 2024. 

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Dian Ediana Rae

Photo :
  • VIVA.co.id/Anisa Aulia

Dian menuturkan, ketidakpastian pasar keuangan global yang masih cukup tinggi, antara lain dipengaruhi oleh laju penurunan inflasi yang masih berada di atas target. Sehingga mendorong The Fed mempertahankan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) tinggi dalam jangka waktu lama hingga Juni 2024, dan baru melakukan pemangkasan FFR pada FOMC September 2024.

Selain itu jelas Dian, perlu diperhatikan juga faktor risiko seperti perkembangan konflik geopolitik di Timur Tengah dan Ukraina, disrupsi jalur perdagangan di Laut Merah, dan faktor perubahan iklim yang berpotensi memicu peningkatan harga komoditas dan inflasi ke depan.

Dian melanjutkan, di tengah perkembangan global tersebut, pada kuartal II-2024 ekonomi domestik tetap terjaga meskipun sedikit melandai, antara lain ditopang oleh pertumbuhan ekspor yang lebih tinggi meskipun pertumbuhan konsumsi, investasi, dan pengeluaran Pemerintah melambat dibandingkan kuartal II-2023. 

Secara umum, pertumbuhan konsumsi domestik yang melambat juga ditengarai 
merupakan implikasi dari berakhirnya efek stimulus dari periode Pemilihan Umum (Pemilu) dan Ramadhan serta diikuti oleh kondisi pasar tenaga kerja yang belum pulih sepenuhnya.

Ekonomi domestik yang tetap kuat juga tercermin pada indikator perbankan di kuartal II-2024 sebagaimana terlihat pada pertumbuhan kredit (bank umum) yang masih cukup baik yaitu sebesar 12,36 persen secara year on year (yoy), meningkat dari periode yang sama tahun sebelumnya 7,76 persen yoy. 

Pertumbuhan kredit tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan dari segmen korporasi yang baik sejalan dengan penjualan yang baik dan kemampuan bayar yang kuat. Di sisi lain, DPK juga masih tumbuh yaitu sebesar 8,45 persen yoy meningkat dari tahun sebelumnya 5,79 persen yoy sehingga menjadi salah satu faktor pendorong terjaganya likuiditas perbankan. 

Dalam situasi demikian, kondisi likuditas bank umum terpantau masih cukup memadai sebagaimana tecermin dari rasio AL/NCD dan AL/DPK masing-masing sebesar 112,33 persen dan 25,37 persen, jauh di atas threshold masing-masing 50 persen dan 10 persen. 

Tingkat permodalan juga cukup solid dengan CAR sebesar 26,09 persen meskipun menurun dari tahun sebelumnya didorong oleh pertumbuhan ATMR yang tumbuh 9,91 persen (yoy), sejalan dengan pertumbuhan kredit, dan melampaui pertumbuhan modal. 

Risiko kredit juga terpantau membaik dengan rasio NPL gross yang meningkat menjadi sebesar 2,26 persen dan NPL net sedikit meningkat menjadi 0,78 persen. 

Sejalan dengan kinerja bank umum, kinerja BPR dan BPRS juga cukup baik kendati pertumbuhan kredit/pembiayaan serta DPK relatif melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Rasio permodalan juga masih cukup solid dengan CAR BPR dan BPRS 
masing-masing sebesar 31,75 persen dan 23,09 persen. 

"Ke depan, tetap perlu diperhatikan risiko perbankan utamanya risiko pasar dan risiko likuiditas di tengah masih tingginya ketidakpastian global seperti risiko ketidakpastian suku bunga, perkembangan ekonomi Tiongkok, serta kenaikan tensi geopolitik yang dapat berpotensi meningkatkan tekanan ekonomi domestik," imbuhnya.