Ketua OJK Ungkap Stabilitas Sektor Jasa Keuangan Terjaga di Tengah Peningkatan Risiko Geopolitik

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anisa Aulia

Jakarta, VIVA – Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar menilai stabilitas sektor jasa keuangan saat ini terjaga dengan baik. Meskipun risiko geopolitik tengah mengalami peningkatan

Hal ini disampaikan oleh Mahendra dalam Konferensi Pers Asesmen Sektor Jasa Keuangan dan Kebijakan OJK Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan Oktober 2024.

"Rapat Dewan Komisioner Bulanan dari OJK yang diselenggarakan pada 30 Oktober 2024 menilai stabilitas sektor jasa keuangan terjaga baik di tengah meningkatnya risiko geopolitik dan melemahnya aktivitas perekonomian secara global," kata Mahendra, Jumat, 1 November 2024.

Gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Photo :
  • VIVA/Andry Daud

Mahendra mengatakan, saat ini pertumbuhan ekonomi terindikasi mengalami divergensi di antara negara-negara utama dunia. Misalnya saja perekonomian Amerika Serikat telah menunjukkan perkembangan yang lebih baik dari ekspektasi semula.

"Seiring solidnya pasar tenaga kerja serta membaiknya permintaan domestik," jelasnya.

Sedangkan di Eropa, lanjut Mahendra, aktivitas perekonomian sudah mulai membaik. Hal ini terlihat dari naiknya penjualan ritel, meskipun dari sisi manufaktur masih relatif tertekan.

"Sementara itu pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada kuartal III-2024 masih menunjukkan perlambatan baik dari sisi permintaan maupun pasokan. Sehingga mendorong pemerintah dan bank sentral terus mengeluarkan berbagai stimulus di Tiongkok," jelasnya.

Di samping itu, Mahendra mengatakan bahwa meningkatnya risiko geopolitik global telah menjadi tantangan bagi prospek perekonomian ke depan.

"Dan instabilitas di Timur Tengah menyebabkan harga komoditas yang dianggap sebagai safe haven seperti emas meningkat tajam," katanya.

Menurutnya, perkembangan tersebut sudah menyebabkan premi risiko dan yield secara global naik. Sehingga hal itu mendorong aliran modal keluar dari negara emerging serta negara berkembang, termasuk Indonesia.