59.796 Pekerja Terkena PHK hingga Oktober, 25 Ribu Bertambah dalam 3 Bulan

Ilustrasi PHK
Sumber :
  • VIVA.co.id/Andrew Tito

Jakarta, VIVA — Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengungkapkan bahwa jumlah pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia telah mencapai angka yang signifikan, yaitu sebanyak 59.796 orang hingga akhir Oktober 2024.

Angka ini menunjukkan peningkatan yang mencolok, dengan tambahan 25.000 orang dalam kurun waktu hanya tiga bulan terakhir.

Lonjakan angka PHK yang mengkhawatirkan ini menjadi fokus utama dalam rapat koordinasi (rakor) yang digelar antara Menaker Yassierli, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan seluruh kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten, serta kota. 

Ilustrasi PHK.

Photo :
  • VIVA.

Rapat ini bertujuan untuk menyelaraskan kebijakan ketenagakerjaan antara pemerintah pusat dan daerah, serta meningkatkan koordinasi dalam menghadapi lonjakan PHK yang terus meningkat.

“Per 31 Oktober 2024, kami mencatat adanya 59.796 pekerja yang terkena PHK. Jumlah ini mencerminkan peningkatan yang tajam, yakni sebanyak 25.000 orang dalam tiga bulan terakhir,” ujar Yassierli dalam keterangannya.

Menanggapi situasi yang memprihatinkan ini, Menaker Yassierli mengajak setiap daerah untuk membangun sistem peringatan dini (early warning system) guna mendeteksi potensi PHK di perusahaan-perusahaan lokal. 

Dengan adanya sistem ini, diharapkan akan ada upaya mitigasi yang lebih efektif terhadap dampak sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh tingginya angka PHK.

“Dengan menerapkan sistem peringatan dini, kami berharap dapat memitigasi dampak sosial dan ekonomi yang muncul akibat tingginya angka PHK. Ini adalah langkah penting untuk melindungi kesejahteraan pekerja dan masyarakat,” tuturnya.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Indah Anggoro Putri, juga memberikan penjelasan mengenai penyebab terus meningkatnya gelombang PHK di Indonesia. 

Beberapa faktor yang menjadi pemicu antara lain adalah melemahnya ekspor produk tekstil dan garmen, efisiensi yang dilakukan perusahaan sebagai respons terhadap persaingan global yang semakin ketat.

“Perubahan dalam strategi pemasaran dan penjualan yang disebabkan oleh digitalisasi juga turut berkontribusi. Selain itu, kami juga mencatat adanya masalah serius terkait dengan masuknya produk garmen ilegal ke pasar Indonesia, yang semakin memperburuk situasi,” jelasnya.

Dengan langkah-langkah preventif yang diusulkan, diharapkan pemerintah dapat lebih siap dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan di masa depan serta menciptakan lingkungan kerja yang lebih stabil bagi seluruh pekerja di Indonesia.