Kemendag Bakal Bahas dengan Kemenperin Aturan yang Bikin Sritex Pailit

Suasana perusahaan tekstil dan garmen terbesar se-Asia Tenggara Sritex di Sukoharjo, Jumat (25/10).
Sumber :
  • VIVA.co.id/Fajar Sodiq (Solo)

Jakarta, VIVA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) buka suara, soal Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang dinilai menjadi penyebab pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex pailit.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Isy Karim mengatakan pihaknya akan melakukan pembahasan lebih lanjut bersama Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengenai hal tersebut.

"Besok rencana hari minggu depan akan dibahas dengan Kemenperin," ujar Isy di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu, 30 Oktober 2024.

Karyawan Sritex Kompak Pakai Pita Hitam

Photo :
  • X @Fiiialfi

Adapun terkait dengan keputusan direvisi atau tidaknya Permendag Nomor 8 Tahun 2024 ini, Isy mengatakan hal itu harus menunggu hasil dari pembahasan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas).

"Ya nanti tergantung di pembicaraan rakortasnya. Bagian itu nanti dibicarakan, tetapi belum dibicarakan," kata dia.

Sebelumnya, Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda mengatakan, pailitnya Sritex bukan hanya berdampak ke industri tekstil. Namun, juga akan memberikan efek ganda atau multiplier ke sektor lainnya. 

"Ekonomi daerah juga sangat terancam merosot cukup jauh, seperti Sukoharjo dan daerah pusat tekstil lainnya," katanya. 

Sritex.

Photo :
  • Antara.

Huda mengakui, dalam beberapa tahun terakhir ini industri tekstil tengah mengalami tekanan yang cukup kuat. Hal ini dipicu oleh kondisi permintaan global seperti AS dan China yang menurun. 

Di sisi lain Huda mengatakan, tekanan produk impor juga menjadi penyebab tertekannya industri tekstil dalam negeri. Dalam hal ini utamanya setelah Kementerian Perdagangan mengeluarkan aturan yang memperlonggar aturan dan syarat impor.  

"Terlebih permintaan dari dalam negeri ikut melambat dan mereka lebih memilih produk impor karena harganya yang lebih murah. Jadi tekanan dari dalam negeri ada, dari luar negeri juga kuat. Maka tak ayal industri TPT tumbang," jelasnya.