Menilik Sejarah Panjang Sritex, Raja Tekstil yang Selamat dari Krisis 98 Kini Dinyatakan Pailit

Suasana perusahaan tekstil dan garmen terbesar se-Asia Tenggara Sritex di Sukoharjo, Jumat (25/10).
Sumber :
  • VIVA.co.id/Fajar Sodiq (Solo)

Jakarta, VIVA – PT Sri Rejeki Isman Tbk, (Sritex), memiliki sejarah panjang sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, namun kini telah resmi dinyatakan pailit. Status pailit ini diputuskan oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang usai mengabulkan permohonan salah satu krediturnya, PT India Bharat Rayon. 

Di Indonesia, Sritex telah dianggap sebagai salah satu ‘Raja Tekstil’ yang telah berdiri dari masa ke masa. Berikut ini sejarah dari awal berdiri hingga bertahan melewati krisis ekonomi dan kini menghadapi status pailit.

Sejarah Berdirinya Sritex

Sritex.

Photo :
  • Antara.

Mengutip dari situs resminya, Sritex pertama-tama didirikan oleh H.M. Lukminto pada tahun 1966 sebagai perusahaan perdagangan tekstil tradisional di Pasar Klewer, Solo. Seiring waktu, bisnis ini berkembang dengan pesat.

Lalu, pada 1968, Sritex membuka pabrik cetak pertamanya di Solo yang memproduksi kain putih dan berwarna. Lalu, perusahaan ini terdaftar sebagai perseroan terbatas di Kementerian Perdagangan pada 1978.

Pada 1982, Sritex mendirikan pabrik tenun pertama, dan ini menandai langkah besar dalam proses produksinya. Hingga memasuki dekade 1990-an, Sritex memperluas lini produksinya secara signifikan.

Di 1992, Sritex berhasil menyatukan empat lini produksi dalam satu atap, yakni pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan produksi busana. Menariknya, pada 1994, Sritex mulai memproduksi seragam militer untuk NATO dan Tentara Jerman, sehingga menjadikan perusahaan ini pemain penting di pasar internasional.

Tak hanya itu, ketika krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1998, Sritex justru berhasil bertahan dan bahkan meningkatkan pertumbuhannya hingga delapan kali lipat dari 1992.

Kemudian di era 2000-an, yakni 2010-2012, Sritex menunjukkan pertumbuhan pesat di tengah ketatnya persaingan global, hingga menggandakan kinerjanya pada 2012 dibandingkan tahun 2008.

Satu tahun kemudian, yakni 2013, Sritex resmi mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia dengan kode SRIL. Lalu, pada 2014, Iwan S. Lukminto, CEO Sritex, dianugerahi penghargaan Businessman of the Year oleh majalah Forbes Indonesia.

Selama 2015 hingga 2017, Sritex terus memperluas usahanya dengan penerbitan obligasi global dan meraih banyak penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Penghargaan ini termasuk Intellectual Property Rights Award 2015 dari WIPO dan Top Performing Listed Companies pada tahun 2015.

Di tengah semua prestasi ini, Sritex kini harus menghadapi tantangan terbesarnya. Pada Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang menyatakan Sritex pailit setelah krediturnya, PT India Bharat Rayon, mengajukan permohonan karena gagal memenuhi kewajiban pembayaran utang. 

Usai munculnya status pailit tersebut, pihak manajemen Sritex mengajukan kasasi. Pengajuan kasasi tersebut dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan kepada para kreditur, pelanggan, karyawan dan pemasok.

Kasasi tersebut sudah diajukan ke Mahkamah Agung (MA) per hari ini, dengan harapan bisa menyelesaikan persoalan pailit dengan baik dan memastikan terpenuhinya kepentingan para pemangku kepentingan. Sritex mengatakan, dari putusan pailit ini tak hanya memberikan dampak langsung bagi 14.112 karyawan, melainkan mencakup 50.000 pekerja Sritex secara keseluruhan, serta UMKM yang mendukung proses bisnis perusahaan ini.