Luncurkan Buku, Mantan Menperin Ungkap Ironisme RI Sebagai 'Penguasa' Sawit

Menteri Perindustrian periode 2014-2016, Saleh Husin.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya

Jakarta, VIVA - Mantan Menteri Perindustrian (MenperinSaleh Husin mengungkapkan fenomena ironis Indonesia yang menguasai pasar komoditas sawit global. Meski berkuasa, namun Indonesia tidak bisa menentukan sendiri harga jual sawitnya dan masih ditentukan oleh negara lain.

Menperin periode 2014-2016 itu mengatakan, meskipun hilirisasi industri sawit berhasil mendongkrak nilai tambah hingga ratusan triliun rupiah bagi perekonomian nasional, namun nyatanya industri sawit masih mendapatkan banyak tekanan khususnya dari negara-negara luar.

"Sawit ini merupakan produk perdagangan kita yang menguasai pasar dunia. Namun sayangnya, harganya justru dikendalikan oleh orang lain, yaitu di pusat Malaysia maupun di pusat negara lain," kata Saleh dalam peluncuran bukunya yang berjudul 'Hilirisasi Sawit, Cegah Middle Income Trap', di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu, 9 Oktober 2024.

Ilustrasi perkebunan kelapa sawit.

Photo :
  • Dok. Istimewa

"Ini kan sesuatu yang sangat aneh. Kita yang menguasai produk tapi harganya ditentukan oleh orang lain," ujarnya.

Saleh membeberkan, sampai pertengahan 2024, industri sawit Indonesia telah berkontribusi hingga Rp 161 triliun kepada devisa negara, dengan serapan tenaga kerja yang mencapai hingga 20 juta orang.

"Kita bisa lihat dari sawit lah misalnya. Untuk produk perkebunannya di Indonesia, kita bisa saving devisa sekitar dari Rp 35 triliun, bisa saving defisit sekitar Rp 161 triliun. Ini sesuatu yang luar biasa," kata Saleh.

Hal itu diakui Saleh seiring dengan langkah pengurangan emisi gas rumah kaca, hingga kira-kira sebesar 35 juta ton. Dengan sawit sebagai satu-satunya komoditas asal Indonesia yang berhasil menguasai pasar global, Saleh pun mengaku amat menyayangkan bahwa justru harga sawit Indonesia masih ditentukan oleh negara lain.

Di sisi lain, hal itu masih ditambah dengan seringnya produk sawit Indonesia mendapat opini negatif dari negara asing, khususnya di Eropa. Dimana hal itu membuat seakan-akan hasil bumi Indonesia itu telah memberikan dampak buruk terhadap lingkungan. Padahal, banyak negara di Benua Biru itu yang sampai saat ini juga masih mengekspor produk-produk olahan sawit.

"Seperti Belanda yang selama ini kadang, sering negatif campaign terhadap produk-produk sawit, tetapi kenyataannya dia justru mengekspor produk olahan sawit sebesar 1 juta ton. Nah produknya dari mana? Ya dulu dari Indonesia," ujarnya.

Fenomena inilah yang diakui Saleh membuatnya meneliti lebih lanjut industri kelapa sawit di Indonesia, beserta ragam tantangan yang dihadapinya. Hasil penelitian itu pun kemudian dituangkan Saleh dalam bukunya yang berjudul 'Hilirisasi Sawit, Cegah Middle Income Trap', yang diluncurkan hari ini.

Harapannya, peluncuran buku ini akan membuat banyak pihak memahami betul kondisi industri sawit di dalam negeri, sehingga ke depannya sektor agri bisnis ini bisa lebih berkembang dan mempercepat Indonesia keluar dari middle income trap alias menjadi negara maju.

"Berangkat dari situ, akhirnya saya mau memperdalam untuk penelitiannya agar kita betul-betul selain menguasai produknya, kita juga harus menentukan harganya, dan tentu dengan berbagai cara. Makanya ini kita bikin buku, tapi jangan hanya di hilirnya saja, tetapi kita tarik ke hulunya juga, ke tanamannya. Sehingga orang mengetahui tentang sawit itu secara keseluruhan," ujarnya.