Daya Saing Membaik, Investasi Asing Mengalir
- Istimewa.
Jakarta, VIVA – Menjelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, kesibukan peresmian industri justru semakin marak. Tidak hanya dilakukan Presiden, peresmian demi peresmian juga dilakukan menteri terkait. Hal itu menandakan geliat investasi dan pengembangan sektor industri di Tanah Air.
Sebut saja, pada akhir September lalu, Presiden Jokowi meresmikan tiga smelter menandai terwujudnya visi hilirisasi. Dua smelter di antaranya untuk mengolah konsentrat tembaga, dan satu smelter lagi mengolah bauksit menjadi bahan baku aluminium.
Tak berselang lama, pada pekan ini Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani meresmikan dua pabrik di Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang, Jawa Tengah. Keduanya adalah pabrik pipa dan pabrik kaca, yang kesemuanya merupakan penanaman modal asing (PMA).
Pabrik pipa diusahakan oleh PT Wavin Manufacturing Indonesia. Perusahaan asal Belanda tersebut menggelontorkan modal senilai Rp 825 miliar.
Sedangkan pabrik kaca merupakan penanaman modal asal Korea, melalui PT KCC Glass Indonesia. Nilai investasi yang dibenamkan pada tahap awal Rp 4 triliun, dan tahap berikutnya Rp 8 triliun.
Kehadiran kedua pabrik di Batang tersebut mencerminkan arus investasi asing terus masuk ke Indonesia. Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, sejumlah perbaikan struktural digenjot untuk meningkatkan daya saing ekonomi.
Hal tersebut untuk meningkatkan investasi, khususnya investasi asing. Sebab, dengan masuknya modal asing, ada sejumlah manfaat yang diraih. Pertama, investasi diperlukan untuk menggerakkan perekonomian, baik sektor industri maupun jasa. Kedua, investasi berarti membuka lapangan kerja. Ketiga, adanya penanaman modal asing (PMA) mencerminkan kondisi ekonomi yang solid sehingga menebalkan kepercayaan terhadap Indonesia.
Keempat, hadirnya investasi asing mendorong industrialisasi di Tanah Air. Berkembangnya industrialisasi, dengan sendirinya juga akan mengubah struktur Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional. Selama ini, 56% PDB disumbang konsumsi domestik. Melalui hilirisasi dan industrialisasi, ekonomi nasional akan bertumpu pada kegiatan investasi dan produksi, yang memberi manfaat lebih besar, seperti pembukaan lapangan kerja dan meningkatnya pendapatan masyarakat.
Untuk menarik investasi asing, berbagai perbaikan struktural, baik tata kelola birokrasi terkait perizinan maupun regulasi, gencar dilakukan pemerintah. Ikhtiar selama 10 tahun telah membawa dampak positif dengan membaiknya peringkat daya saing Indonesia. Dalam survei International Institute for Management Development (IMD) yang menerbitkan World Competitiveness Ranking (WCR), peringkat daya saing Indonesia terus membaik selama lima tahun terakhir.
Dalam laporan terbaru ini yang dirilis Juni lalu, tahun ini Indonesia menempati peringkat ke-27 dari 67 negara. Sebelumnya, pada 2023, Indonesia menempati peringkat ke-34, peringkat ke-44 (2022), peringkat ke-37 (2021), dan peringkat ke-40 (2020).
IMD sendiri telah melakukan penilaian WCR sejak tahun 1989 dan Indonesia tercatat telah mengikuti penilaian sejak tahun 1997. Artinya, sejak mengikuti pemeringkatan 27 tahun silam, untuk pertama kalinya Indonesia menembus peringkat 20-an pada tahun 2024. Pencapaian ini menjadi yang terbaik sepanjang sejarah.
Di wilayah Asia Tenggara, Indonesia termasuk tiga besar, hanya di bawah Singapura (peringkat 1) dan Thailand (peringkat 25).
Lonjakan peringkat daya saing Indonesia sebagai suatu hal positif untuk meningkatkan kepercayaan investor, khususnya investor asing terhadap iklim berusaha di Indonesia.
Dalam laporan tahun ini, tiga dari empat faktor utama yang dinilai, Indonesia mengalami peningkatan. Faktor Economic Performance peringkat 24 (naik 5 peringkat); Government Efficiency peringkat 23 (naik 8 peringkat); dan Business Efficiency peringkat 14 (naik 6 peringkat). Namun, faktor yang mengalami penurunan adalah infrastruktur di peringkat 52 (turun 1 peringkat).
Selain itu, ada tiga dari 20 indikator yang melonjak naik di tahun ini. Indikator Domestic Economy naik 18 peringkat; Institutional Framework naik 14 peringkat; serta Productivity and Efficiency naik 12 peringkat. Walaupun demikian, indikator Productivity and Efficiency dianggap belum baik karena masih berada di area bawah.
Salah satu upaya konkret pemerintah membenahi daya saing adalah perbaikan di sisi regulasi yang menjadi insentif bagi dunia usaha. Salah satunya adalah terbitnya UU Cipta Kerja. Pemerintah Indonesia mengesahkan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian diganti dengan UU 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 2/2023 tentang Cipta Kerja.
Investasi Asing Meningkat
Kenaikan peringkat daya saing dari suatu negara tentu memberikan efek signifikan, khususnya terhadap daya tarik investor. Peringkat daya saing yang tinggi akan meningkatkan reputasi dan citra positif suatu negara di mata investor global yang sering kali mempertimbangkan peringkat tersebut dalam keputusan investasi mereka. Selain itu, peringkat daya saing yang lebih tinggi tentunya akan meningkatkan kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi dan potensi pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Peningkatan daya saing mencerminkan lingkungan bisnis yang lebih kondusif, stabilitas ekonomi dan politik yang lebih baik, serta prospek pertumbuhan yang lebih positif. Hal tersebut merupakan faktor yang menjadi daya tarik utama bagi para investor asing.
Sejalan dengan hal tersebut, realisasi investasi Indonesia juga menunjukkan tren peningkatan selama 10 tahun terakhir. Mengutip data BKPM, berikut realisasi PMA di Indonesia dalam satu dekade terakhir:
- Tahun 2014: US$ 28,629 miliar
- Tahun 2015: US$ 29,275 miliar
- Tahun 2016: US$ 28,964 miliar
- Tahun 2017: US$ 32,239 miliar
- Tahun 2018: US$ 29,307 miliar
- Tahun 2019: US$ 28,208 miliar
- Tahun 2020: US$ 28,666 miliar
- Tahun 2021: US$ 31,093 miliar
- Tahun 2022: US$ 45,604 miliar
- Tahun 2023: US$ 50,267
- Tahun 2024 (hingga Juni): US$ 28,117 miliar
Hal yang menarik dari data realisasi PMA tersebut, sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia pada awal 2020, nilai investasi asing justru mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Di saat kondisi ekonomi global terpuruk akibat lumpuhnya aktivitas produksi dan konsumsi, arus investasi asing ke RI seolah tak terpengaruh.
Sebagai catatan, momentum akeselerasi arus PMA itu terjadi juga bersamaan dengan pengesahan UU Cipta Kerja pada 2020.
Perkembangan iklim investasi yang semakin atraktif, yang ditandai dengan meningkatnya arus PMA merupakan warisan pemerintahan Jokowi kepada Presiden Prabowo Subianto. Dalam konteks keberlanjutan, pencapaian ini tentu menjadi fondasi yang kuat bagi masa depan perekonomian nasional.