Kerja Sama dengan Pertamina Rawat Alam, Ekowisata Sungai Hitam Jadi Wilayah Incaran Turis

Momen Sekumpulan Bekantan Berada di Atas Pohon Dekat Sungai Hitam Kaltim (Doc: Natania Longdong)
Sumber :
  • VIVA.co.id/Natania Longdong

Kalimantan Timur, VIVA – Bekantan, atau monyet hidung besar (Nasalis larvatus), adalah primata endemik yang dapat ditemukan di Kalimantan, Indonesia.

Mereka dikenal dengan hidung besar dan perut buncitnya, serta merupakan perenang ulung. Bekantan hidup di habitat mangrove dan hutan rawa, dan terutama memakan daun, buah, dan biji. Saat ini, bekantan terancam punah akibat hilangnya habitat dan perburuan, sehingga upaya konservasi sangat penting untuk melindungi spesies ini.

Momen Sekumpulan Bekantan Berada di Atas Pohon Dekat Sungai Hitam Kaltim (Doc: Natania Longdong)

Photo :
  • VIVA.co.id/Natania Longdong

Seperti yang ada di Ekowisata Sungai Hitam, Kalimantan Timur. Berawal dari keresahan pria bernama Aidil Amin, kini wisata Sungai Hitam, yang juga merupakan habitat Bekantan dapat terjaga dengan baik.

Saat menelusuri Sungai Hitam, air yang terlihat jenih dan suasana yang asri menyambut penglihatan wisatawan.

Aidil, selaku Ketua Kelompok Sadar Wisata (Kopdarwis) menyebut bahwa dahulu sungai dan hutan mangrove di daerah itu kurang terjaga.

Minimnya kesadaran masyarakat tentang menjaga lingkungan membuat air sungai terkontaminasi kotoran manusia dan limbah rumah tangga.

Keresahan itu lantas membuat Aidil sadar dan memulai langkah untuk merangkul masyarakat setempat. Dia menilai bahwa tempat itu dapat menjadi tempat wisata yang mumpuni jika dikelola dengan baik.

"Ekowisata Sungai Hitam Lestari ini sebenarnya sudah lama berdiri. Cuma, awal berdiri memang masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Sehingga, saya sebagai Ketua, Ketua Kopdarwis di sini, berpikir bagaimana untuk mendorong ekowisata Sungai Hitam Lestari ini bisa terkenal," kata pria yang kerap disapa 'Pak Aidil' pada wartawan, Selasa, 1 Oktober 2024.

Kera Bekantan

Photo :
  • Panoramio

Aidil memiliki impian bahwa daerahnya dapat dikenal oleh wisatawan lokal, maupun mancanegara, sehingga perekonomian di daerah Samboja dapat berjalan baik.

"Ketika (ide) ini sudah saya dorong, dan Alhamdulillah waktu itu saya masih ingat, saya masih menjabat jadi Ketua RT, saya miris melihat suasana di sini, miris sekali. Ketika ada kunjungan tamu-tamu asing yang masuk ke sini, sudah terkenal di negara-negara luar, yang hanya sebatas jalan setapak untuk menuju ke dermaga," ungkapnya saat mengingat awal mula Ekowisata Sungai Hitam terbentuk.

Melalui keresahannya, Ide tempat wisata Bekantan tercetus.

"Saya berpikir alangkah baiknya ini, bagaimana caranya saya sebagai Ketua RT di sini, ini harus saya usahakan, bisa dapat, bisa kelihatan, bisa ekowisata. Dan saya berpikir juga, di sini ada salah satu hewan edemiknya Kalimantan, yang hanya ada di Kalimantan, tidak ada di lain-lain, tidak ada. Yaitu Bekantan," ungkapnya antusias.

Ketika bekantan sudah dilirik oleh masyarakat, khususnya pengunjung, hal ini menjadi nilai tambah kawasan itu, khususnya masyarakat Kampung Lama. 

Tidak sampai di situ, rasanya kurang 'bumbu' apabila niat baik tidak diiringi dengan beberapa tantangan. 

Pak Aidil bercerita bahwa dia merasa kesulitan dengan beberapa warga yang masih 'mengeyel' dan adanya perambahan hutan.

"(Tantangan) ini terjadi terus. Tapi Alhamdulillah mungkin Allah juga memberikan pertolongan kepada saya, sehingga saya berpikir, ya Alhamdulillah dengan adanya (ide) itu, kesadaran masyarakat itu muncul," tuturnya.

Dimulai dari Kampung Lama, Aidil saat itu berharap kampung-kampung yang lain dapat melakukan hal yang sama, yakni menjaga kelestarian Sungai Hitam dan kawasan mangrove di wilayah itu.

Tujuan tidak jauh demi terciptanya lingkungan yang baik bagi spesies Bekantan dan hewan-hewan lainnya yang hidup di hutan mangrove.

"Alhamdulillah juga sekarang kesadaran masyarakat Kuala (Samboja) meningkat, saya terima kasih sekali. Saya pernah ada bicara masalah sampah di Kuala itu, tapi Alhamdulillah sekarang (sampah) itu terus berkurang dari 100 persen, sekarang mungkin sekitar 25 persen saja," ujarnya.

Setelah berjalan selama 5 tahun, Ekowisata Sungai Hitam dan hutan mangrove kini lebih dikenal oleh para wisatawan lokal dan internasional.

Pak Aidil bahkan terkesima saat mengetahui bahwa jumlah pengunjung Wisata Sungai Hitam itu didominasi oleh para 'turis' Eropa. 

Bahkan, jumlah pendapatan Ekowisata dapat mencapai Rp 60 juta pertahun. 

"Sekitar 60 persen pengunjung itu dominan turis mancanegara. Paling banyak dari Eropa sih," bebernya.

Berjalannya tempat wisata yang terkenal akan hewan Bekantan ini juga tidak terlepas dari peran PT Pertamina EP SangaSanga Field, yang memberikan dukungan melalui pelatihan, perbaikan tempat parkir hingga pujasera.

Pertamina juga menyumbangkan 4 IPAL terapung yang tersebar di beberapa titik di dua kelurahan.

Diketahui, IPAL Terapung adalah sistem pengolahan air limbah yang dirancang untuk beroperasi di lokasi yang sulit diakses atau di daerah dengan fluktuasi permukaan air, seperti sungai atau rawa.

Sistem ini biasanya terdiri dari struktur yang mengapung dan dilengkapi dengan teknologi untuk memproses air limbah, sehingga tidak mencemari lingkungan.

IPAL Terapung sering digunakan di daerah pesisir atau komunitas terpencil sebagai solusi untuk mengelola limbah secara efektif dan berkelanjutan.

Momen Sekumpulan Bekantan Berada di Atas Pohon Dekat Sungai Hitam Kaltim (Doc: Natania Longdong)

Photo :
  • VIVA.co.id/Natania Longdong

Jika biasanya masyarakat membuat 'hajatnya' ke sungai secara langsung, kini dengan IPAL Terapung kotoran manusia dapat diproses dengan baik sebelum dibuang ke sungai guna menghindari pencemaran lingkungan.

"Saya sangat bersumbangsih dan berterima kasih sekali kepada Pertamina EP (SangaSanga) yang telah membantu, sumbangsinya enggak bisa lah untuk dibayar pakai duit, karena dengan adanya distribusi (IPAL) dari Pertamina EP itu sangat luar biasa."

Selaku pemimpin kesadaran lingkungan, Aidil juga berterima kasih atas adanya pelatihan untuk menjamu para wisatawan, hingga pembelajaran bahasa Inggris.

"Sekarang kami sudah berani untuk turun sendiri ketika ada tamu-tamu asing yang tidak memiliki guide, kami jadi harus turun sendiri gitu loh," tambahnya.

"Kemudian dari ibu-ibu juga (mendapat manfaat). Alhamdulillah, sudah diberikan semacam pengalaman (pelatihan) juga bagaimana caranya memanfaatkan alam. Kita miliki kebun, yang bisa kita manfaatkan, seperti kebun ubi jalar, atau telapak, dan sebagainya."