Aturan Kemasan Rokok Polos Dinilai Tidak Pertimbangkan Imbas ke Depannya

Ilustrasi pekerja pabrik rokok.
Sumber :
  • Dokumentasi Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan.

Jakarta, VIVA - Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) yang memandatkan kemasan rokok polos tanpa merek, dinilai tidak tepat. Rencana penerapan peraturan tersebut, juga dianggap berpotensi akan merugikan industri hingga masyarakat. 

Praktisi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Hari Prasetiyo mengatakan, pembuatan aturan turunan dengan model omnibus tersebut dianggap tidak sesuai, dengan kondisi sektor tembakau yang mencakup lingkup besar dari hulu hingga ke hilir.

"Sehingga pendalaman materi menjadi terbatas, dan kurang mempertimbangkan imbas kedepannya yang dapat mengganggu masa transisi ke pemerintahan Prabowo-Gibran," kata Hari dalam keterangannya, Selasa, 1 Oktober 2024.

Jika dilihat dari perspektif hukum, Hari menegaskan bahwa Kemenkes perlu memastikan kebijakannya fokus pada bidangnya terlebih dulu, sebelum mengatur komoditas lain. Terlebih, pada sektor-sektor di luar kesehatan yang memiliki dampak ekonomi massif dan sistemik akibat adanya aturan Kemenkes tersebut.

“Dari aturan turunan yang dikeluarkan saat ini pun, aturan zat adiktif terlalu menyudutkan tembakau dan tidak sejalan dengan Undang-undang Kesehatan yang sebelumnya telah disahkan," ujarnya.

Hari juga menyoroti kemunculan aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Permenkes, yang dinilai sebagai aturan yang dipaksakan dan tidak sesuai dengan UU Kesehatan dan PP 28/2024.

Kemenkes menyatakan kebijakan tersebut mengadopsi ketentuan dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Padahal, Pemerintah Indonesia tidak meratifikasi FCTC. Maka, Hari mengingatkan Kemenkes untuk tidak menjalankan aturan ini, sebab Indonesia memiliki kompleksitas ekosistem pertembakauan yang berbeda. 

"Aturan ini dapat mengancam sektor tembakau di Indonesia selaku produsen dengan budidaya tembakau yang besar. Kalau tembakau mau diatur, pemerintah perlu duduk bareng dengan pelaku usaha dan tanyakan apa yang mau diatur. Sepakati itu dulu," ujar Hari.

"Kalau dibuatnya buru-buru mengejar waktu, terlihat sekali Kemenkes punya target pelaksanaan Rancangan Permenkesnya. Harus sesuai dengan statement Presiden agar jangan sampai kebijakan memberikan dampak buruk ke masyarakat," ujarnya.

Senada, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy N. Mandey mengatakan, sebagai sektor hilir, sektor tembakau telah berkontribusi besar bagi pendapatan usaha ritel sampai PDB.

Sehingga, imbas hilangnya pendapatan pelaku usaha dengan adanya PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes, perlu dimitigasi baik-baik oleh pemerintah. Roy terus menyayangkan pelaku usaha, sebagai ujung pelaksana aturan pemerintah, yang justru tidak diajak bicara dan seringkali mendapatkan misinformasi akibat pengambilan keputusan yang tidak transparan.

“Peran Kemenkes jangan sampai tumpang tindih. Ada pasal yang ambigu dan tidak bisa dilaksanakan, lalu apakah pasal itu hanya menjadi pajangan? Sementara di lapangan terjadi ‘perdamaian’ dengan oknum. Ini antara input, proses, dan output-nya saja sudah tidak benar,” ujarnya.