Generasi Z Menolak Jadi Bos: Tren ‘Conscious Unbossing’ dan Alasan di Baliknya

Ilustrasi Gen Z Bekerja Secara Hybrid
Sumber :
  • pexels.com

VIVA – Fenomena yang sedang berkembang di dunia kerja saat ini adalah tren di mana generasi Z menolak untuk menduduki posisi manajerial. Istilah yang muncul untuk mendeskripsikan tren ini adalah ‘Conscious Unbossing’. Tren ini menggambarkan kesadaran yang dimiliki oleh generasi muda dalam menolak menjadi bos atau manajer. Tidak hanya sekadar keputusan biasa, penolakan ini seringkali didorong oleh alasan yang sangat kuat dan menyeluruh, mulai dari faktor keseimbangan hidup hingga tuntutan karier yang lebih personal.

Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi alasan di balik fenomena ini, dampaknya pada dunia kerja, serta bagaimana perusahaan dapat beradaptasi dengan perubahan yang tengah terjadi ini.

Apa Itu ‘Conscious Unbossing’?

‘Conscious Unbossing’ merupakan istilah yang menggambarkan sikap kesadaran generasi muda, khususnya generasi Z, dalam menolak peran manajemen menengah dan atas. Sikap ini tidak muncul tanpa alasan. Generasi Z tumbuh di era digital, di mana fleksibilitas, otonomi, dan keseimbangan hidup menjadi prioritas utama. Bagi mereka, jabatan manajer tidak selalu berarti kesuksesan, melainkan bisa berarti stres berlebih, tanggung jawab yang tidak seimbang dengan imbalan, serta hilangnya kesempatan untuk mengembangkan potensi diri di luar batasan korporasi.

Mengapa Generasi Z Menolak Menjadi Bos?

Ada beberapa alasan mengapa generasi Z cenderung menolak posisi sebagai manajer atau bos dalam karier mereka. Berikut adalah beberapa faktor kunci yang mendorong tren ini:

Stres Berlebih dan Imbalan yang Tidak Seimbang

Banyak generasi Z yang merasa bahwa menjadi manajer berarti harus berhadapan dengan tanggung jawab besar dan tekanan yang sangat tinggi. Hal ini sejalan dengan survei yang dilakukan oleh perusahaan perekrutan Robert Walters di Inggris, yang menemukan bahwa 69% generasi Z menganggap posisi manajer menengah terlalu stres dengan imbalan yang rendah.

Di sisi lain, 75% manajer menengah yang disurvei merasa terbebani, stres, atau bahkan mengalami kelelahan. Ketidakseimbangan antara tanggung jawab dan imbalan finansial inilah yang membuat banyak generasi Z ragu untuk mengejar jabatan manajerial.

Fokus pada Pertumbuhan Pribadi dan Akumulasi Keterampilan

Generasi Z dikenal sebagai generasi yang sangat mementingkan pengembangan diri. Mereka lebih tertarik pada jalur karier yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan keterampilan baru, belajar hal-hal baru, dan mendapatkan pengalaman yang beragam daripada terjebak dalam satu peran manajerial yang bisa membatasi ruang gerak mereka.

Banyak dari mereka lebih memilih untuk fokus pada “jalur individual” dalam memajukan karier mereka, yang memungkinkan mereka untuk tetap fleksibel dan mengutamakan perkembangan diri. Ini juga mencerminkan pergeseran dalam cara pandang terhadap kesuksesan. Jika generasi sebelumnya menganggap jabatan manajerial sebagai lambang keberhasilan, generasi Z justru melihatnya sebagai potensi penghambat kebebasan.

Keseimbangan Kehidupan Kerja yang Lebih Baik

Fleksibilitas dan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan adalah salah satu prioritas utama bagi generasi Z. Bekerja secara hybrid atau jarak jauh, terutama setelah pandemi Covid-19, telah membuat mereka semakin menghargai waktu dan fleksibilitas yang mereka miliki. Posisi manajerial yang membutuhkan kehadiran fisik dan keterlibatan penuh sering kali dianggap bertentangan dengan gaya hidup yang mereka inginkan.

Sebanyak 72% profesional muda yang disurvei oleh Robert Walters lebih memilih untuk memajukan karier mereka melalui jalur yang fleksibel daripada harus menaiki tangga karier tradisional yang sering kali membawa mereka ke posisi manajerial.

Dampak ‘Conscious Unbossing’ pada Struktur Organisasi

Fenomena ‘Conscious Unbossing’ ini tentu saja membawa dampak besar pada struktur organisasi tradisional. Jika generasi Z, yang merupakan tenaga kerja masa depan, semakin banyak menolak posisi manajerial, maka perusahaan harus mulai beradaptasi. Beberapa dampak yang mungkin timbul adalah:

Perubahan dalam Model Karier

Perusahaan mungkin harus merombak model karier tradisional yang menekankan promosi ke posisi manajerial sebagai tolok ukur kesuksesan. Alih-alih itu, jalur karier yang lebih fleksibel dan personal harus mulai dipertimbangkan. Struktur organisasi yang lebih datar dan otonom, di mana karyawan dapat terus berkembang tanpa harus menjadi manajer, mungkin akan menjadi tren di masa depan.

Kesenjangan Kepemimpinan

Penolakan generasi Z terhadap posisi manajerial bisa menyebabkan kekurangan kepemimpinan di masa depan. Perusahaan harus mencari cara untuk mengisi kesenjangan ini, baik dengan menawarkan insentif yang lebih menarik untuk peran manajerial atau dengan menciptakan peran baru yang lebih sesuai dengan ekspektasi generasi Z.

Loyalitas Karyawan yang Menurun

Menurut Robert Walters, generasi Z juga dikenal kurang loyal terhadap perusahaan tempat mereka bekerja, terutama karena mereka sering kali memasuki dunia kerja melalui pengaturan jarak jauh atau hybrid. Ketiadaan keterikatan fisik dan sosial di kantor membuat generasi ini merasa lebih mudah berpindah-pindah pekerjaan. Hal ini bisa menjadi tantangan bagi perusahaan dalam mempertahankan bakat-bakat terbaik mereka.

Bagaimana Perusahaan Bisa Beradaptasi dengan Tren Ini?

Perubahan sikap generasi Z terhadap manajemen menengah menuntut perusahaan untuk beradaptasi jika ingin tetap relevan dan menarik bagi tenaga kerja muda. Beberapa langkah yang bisa diambil perusahaan adalah:

Menawarkan Jalur Karier Alternatif

Alih-alih memaksa karyawan untuk mengejar jabatan manajerial, perusahaan bisa menawarkan jalur karier alternatif yang memungkinkan karyawan untuk terus berkembang tanpa harus menjadi manajer. Misalnya, jalur spesialisasi di bidang tertentu atau program pengembangan keterampilan yang dapat memberikan karyawan kesempatan untuk memperluas kompetensi mereka.

Meningkatkan Fleksibilitas dalam Peran Manajerial

Salah satu cara untuk menarik generasi Z ke dalam peran manajerial adalah dengan menawarkan fleksibilitas yang lebih besar. Perusahaan bisa mempertimbangkan untuk mengurangi beban kerja yang berlebihan, memberikan dukungan yang lebih besar, dan menawarkan keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik bagi manajer.

Menciptakan Budaya Kerja yang Inklusif

Generasi Z cenderung menghindari struktur hierarki yang kaku. Oleh karena itu, perusahaan perlu menciptakan budaya kerja yang lebih inklusif dan kolaboratif, di mana karyawan dari berbagai tingkatan merasa dihargai dan didengarkan. Ini bisa dilakukan dengan mengurangi sikap “kami versus mereka” yang sering kali muncul di lingkungan manajemen tradisional.

Tren ‘Conscious Unbossing’ di kalangan generasi Z menunjukkan pergeseran signifikan dalam dunia kerja. Generasi Z tidak lagi melihat posisi manajerial sebagai tujuan utama dalam karier mereka. Sebaliknya, mereka lebih fokus pada pertumbuhan pribadi, keseimbangan kehidupan kerja, dan fleksibilitas. Bagi perusahaan, ini adalah tantangan besar yang harus dihadapi dengan adaptasi terhadap jalur karier yang lebih fleksibel dan inklusif. Jika perusahaan dapat beradaptasi dengan baik, mereka akan mampu menarik dan mempertahankan generasi Z sebagai tenaga kerja masa depan yang berpotensi besar.