Gen Z dan Milenial Rentan Miskin karena Terjebak Doom Spending, Apa Itu?

Ilustrasi menabung.
Sumber :
  • Halomoney

Jakarta, VIVA – Belakangan ini muncul istilah baru, yaitu doom spending. Sederhananya dapat diartikan sebagai kebiasaan boros tetapi perilaku doom spending dilandasi rasa pesimis terhadap masa depan finansial.

Baik doom spending maupun boros merujuk pada perilaku seseorang yang cenderung menghabiskan uang untuk memenuhi gaya hidup. Kebiasaan buruk imi banyak mengintai kalangan pekerja produktif yang kini didominasi generasi Z dan  Milenial.

Alih-alih menyimpang uang di tabungan, mereka lebih tertarik menyisihkan uang untuk membeli barang-barang mewah, bepergian hingga membeli pakaian bermerek nan trendi. 

Dikutip dari CNBC pada Selasa (24/9/2024), Psychology Today menjelaskan arti doom spending adalah ketika seseorang berbelanja tanpa berpikir panjang karena merasa pesimis terhadap ekonomi dan masa depan mereka. 

Ilustrasi belanja/sale.

Photo :
  • Freepik/freepik

Terbukti dari 96 persen warga Amerika Serikat yang merasa khawatir dengan kondisi ekonomi sekarang. Alhasil, seperempat dari jumlah tersebut rela mengeluarkan uang untuk bertindak konsumtif sebagai upaya mengatasi stres. 

Dosen Keuangan Senior di King’s Business School yang juga mantan bankir, Ylva Baeckström,  mengklaim praktik tersebut tidak sehat dan tergolong perbuatan sangat fatal. Baeckström membeberkan generasi saat ini berpotensi menjadi generasi pertama yang lebih miskin dari orangtuanya. 

"Ada perasaan Anda mungkin tidak akan pernah bisa mencapai apa yang dicapai orang tua Anda," imbuh Baeckström.

Survey Monkey yang melakukan peninjauan terhadap 4.342 orang dewasa di seluruh dunia. Hanya 36,5 persen mereka lebih baik daripada orang tua mereka secara finansial.  Sisanya sebanyak 42,8 persen merasa khawatir dan pesimis terhadap kondisi finansial yang lebih buruk di masa depan. 

Penyebab Doom Spending di Kalangan Gen Z dan Milenial

Foto ilustrasi belanja online

Photo :
  • vstory

Gen Z dan Milenial seakan terperangkap dalam situasi ini. Pasalnya, penyebab doom spending sendiri merupakan efek dari kecanggihan teknologi hingga informasi buruk yang terus-menerus diterima. 

Salah satunya menjamurnya berbagai aplikasi belanja daring yang memancing seseorang lebih mudah menghabiskan uangnya. Orang-orang tanpa sadar berubah menjadi impulsif untuk memenuhi ke-FOMO-annya. 

Stefania Troncoso Fernandez, mantan pelaku doom spending, menyampaikan alasan dirinya menghabiskan uang  karena merasa tidak mampu membeli rumah. Lebih lanjut, Fernandez mengatakan doom spending seperti wabah di dalam circle perteman.
 
“Bukan hanya saya. Itu adalah sesuatu yang terjadi dalam lingkaran saya", imbuh Fernandez.

Doom spending acapkali dianggap sebagai tempat pelarian diri. Lantaran rasa tidak puas terkait pekerjaan maupin tekanan yang dinilai terlalu berat sehingga perlu ruang untuk menerima hal-hal tersebut. 

Fernandez mengatakan salah satu alasan mengapa ia merasa terpaksa untuk tidak berbelanja adalah karena kurangnya literasi keuangan. Ia mengatakan ayahnya tumbuh dalam kemiskinan dan tidak ada yang pernah mendorongnya untuk menabung.

Cara Mencegah dan Mengatasi Doom Spending

Ilustrasi anak menabung.

Photo :
  • Freepik

Baeckström menekankan pentingnya memahami hubungan Anda dengan uang dalam mengatasi pengeluaran yang sia-sia. Membiasakan sikap hemat tak lepas dari edukasi finansial yang diajarkan orangtua kepada anaknya.  

Selain itu, belanja langsung ke toko fisik dinilai mampu mengatasi sifat doom spending. Jika membeli langsung makan tanpa sadar Anda dituntut berpikir lebih kritis karena semakin banyak pertimbangan yang harus dipikirkan secara matang, seperti memilih toko, pergi ke lokasi, mengevaluasi barang tersebut, antre dan lainnya. 

Mengaktifkan notifikasi mobile banking juga dinilai mampu menahan untuk mengeluarkan uang. Pemberitahuan menciptakan “sedikit rasa sakit” ketika Anda melihat otorisasi transaksi keluar dari rekening. 

Samantha Rosenberg sebagai salah satu pendiri dan COO Belong (platform pengembangan kekayaan) menyarankan untuk kembali menggunakan uang tunai sebagai cara menghindari praktik doom spending.  Dompet digital dan metode pembayaran online meningkatkan risiko pengeluaran yang tidak perlu karena caranya yang mudah dah cepat hanya dari gawai.