Rencana KRL Pakai NIK Berisiko Turunkan Kesejahteraan Kelas Menengah
- ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Jakarta, VIVA – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menilai, penerapan tiket KRL atau commuterline berbasis nomor induk kependudukan (NIK) akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat kelas menengah. Sebab, 53,7 persen pengguna KRL merupakan masyarakat berpenghasilan Rp 2-5 juta per bulan.
Hal ini berdasarkan laporan khusus LPEM UI yang disusun oleh Andhika P Pratama, Firli W Wahyuputri dan Yusuf Reza Kurniawan. Pada laporan ini dijelaskan bahwa penerapan tiket berbasis NIK akan menyebabkan sebagian pengguna yang tidak memenuhi kriteria penerima subsidi PSO berdasarkan NIK, harus membayar biaya transportasi yang lebih mahal untuk menggunakan KRL.
Menurutnya, bagi kelompok ini pengaruh dari kenaikan biaya transportasi terhadap pilihan moda transportasi akan sangat bergantung pada total biaya dari alternatif moda transportasi yang dimiliki.
"Jika tarif KRL pasca kebijakan masih lebih rendah dari biaya transportasi menggunakan moda transportasi lain, maka tidak akan ada perubahan perilaku commuting dari kelompok ini.," tulisnya dikutip Sabtu, 14 September 2024.
Dalam kondisi tersebut jelasnya, penerapan tiket berbasis NIK tidak akan berdampak signifikan terhadap tingkat kemacetan di Jabodetabek. Hanya saja, kelompok pengguna KRL yang tidak memenuhi kriteria subsidi PSO akan mengalami penurunan tingkat kesejahteraan, dikarenakan kenaikan biaya transportasi akan menggerus alokasi belanja lain.
Meskipun Pemerintah belum memberikan informasi lebih detail mengenai skema tarif baru tersebut, namun kemungkinan besar penerapan kebijakan tersebut berupa pembatasan tarif KRL bersubsidi hanya berlaku untuk pengguna dengan NIK yang masuk ke dalam daftar penerima subsidi.
"Dengan demikian, besar pula kemungkinan pengguna KRL dengan tingkat pendapatan menengah yang akan menghadapi tarif baru yang lebih mahal," jelasnya.
Adapun data dari Survei Komuter Jabodetabek 2019 menunjukkan bahwa profil pendapatan masyarakat pengguna moda KRL yang berada di rentang Rp 2-5 juta per bulan mencapai 53,7 persen. Artinya, masyarakat pada rentang pendapatan ini masuk dalam kategori kelas menengah di Indonesia.
"Maka kebijakan ini menjadi satu dari sekian kebijakan yang bisa berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat kelas menengah. Hal ini berpotensi meningkatkan tekanan pada kelas menengah, yang selama tahun 2018-2023 mengalami penurunan proporsi di perekonomian," tegasnya.
Lebih jauh, jika penerapan tiket berbasis NIK ini menyebabkan kenaikan tarif yang melebihi biaya transportasi dengan moda lain, maka kebijakan ini berisiko meningkatkan tingkat kemacetan.
LPEM menilai, keputusan seseorang memilih moda transportasi yang digunakan bergantung pada total biaya dari tiap-tiap opsi moda transportasi yang dimiliki. Bagi pengguna yang memiliki kendaraan pribadi, kenaikan tarif KRL bisa saja mendorong opsi berkendara sendiri ke tempat kerja menjadi lebih menguntungkan.
"Peralihan sebagian pengguna KRL ke kendaraan pribadi tentu saja meningkatkan volume kendaraan di wilayah Jabodetabek. Hal ini merupakan salah satu potensi konsekuensi penerapan tiket berbasis NIK yang perlu diperhatikan oleh pemerintah," imbuhnya.