Menguak Sejarah Pinjol di Indonesia, Ternyata Berawal Dari Ini

Ilustrasi uang rupiah
Sumber :
  • ANTARA

Jakarta, VIVA – Pinjaman online alias pinjol saat ini menjadi tren yang semakin populer di tengah masyarakat, termasuk bagi generasi muda. Kemudahan akses dan proses yang cepat membuat banyak orang memilih pinjol sebagai solusi keuangan instan. 

Salah satu keuntungan utama menggunakan pinjol adalah kemudahannya dalam mendapatkan dana cepat tanpa harus melalui proses rumit seperti di lembaga perbankan tradisional. Cukup bermodalkan KTP dan aplikasi di ponsel, seseorang bisa mendapatkan pinjaman dalam hitungan menit.

Namun, di balik berbagai keuntungan yang ditawarkan, pinjol juga menyimpan sejumlah risiko. Bunga yang tinggi, denda keterlambatan yang menumpuk, serta tekanan dari penagih utang atau debt collector, merupakan beberapa konsekuensi jika pengguna tidak bisa membayar tepat waktu. 

Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), industri fintech peer-to-peer (P2P) lending menunjukkan pertumbuhan signifikan. Pada Juli 2024, outstanding pembiayaan dari sektor ini tercatat tumbuh sebesar 23,97 persen secara tahunan (year-on-year), dengan nominal mencapai Rp69,39 triliun. Angka ini mencerminkan bahwa semakin banyak masyarakat yang bergantung pada pinjol untuk memenuhi kebutuhan finansialnya.

Namun, seperti apa sih mulanya sejarah pinjaman online atau pinjol di Indonesia? Yuk simak informasi selengkapnya!

Sejarah Pinjaman Online di Indonesia

Seorang karyawan toko penjualan telepon seluler (ponsel) di Pusat Grosir Cililitan (PGC), Jakarta Timur mencuri data pribadi milik 26 orang pelamar kerja untuk pinjaman online atau pinjol.

Photo :
  • VIVA.co.id/Andrew Tito

Pinjaman online sendiri sebenarnya sudah ada selama lebih dari 15 tahun, dengan pelopornya berasal dari luar negeri seperti Zopa, Prosper, LendingClub, dan PayPal. Setelah tahun 2010, semakin banyak perusahaan serupa yang bermunculan, seperti Square dan Amazon, yang menawarkan layanan pinjaman online, terutama untuk marketplace lending. 

Fokus utama dari perusahaan-perusahaan tersebut adalah melayani konsumen yang berada di luar model risiko bank besar, seperti mereka yang memiliki skor kredit rendah atau pendapatan tidak stabil.

Di Indonesia, sendiri pinjaman online mulai diatur secara resmi pada tahun 2016 melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dengan adanya regulasi ini, setiap lembaga pinjaman daring diwajibkan mendaftarkan badan usahanya pada OJK dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Sejak diberlakukannya regulasi tersebut, pinjaman online semakin berkembang pesat. Berdasarkan data dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), sejak 2016, financial technology (fintech) di Indonesia terus tumbuh setiap tahun. 

Meskipun sempat mengalami tantangan selama pandemi COVID-19, di mana banyak perusahaan fintech menghadapi penurunan jumlah pengguna dan volume transaksi, sebagian lainnya justru berhasil meningkatkan jumlah penggunanya dan bahkan menciptakan peluang bisnis baru.

Adanya regulasi yang semakin ketat dan pengawasan yang lebih baik dari OJK, pinjaman online di Indonesia diproyeksikan akan terus berkembang. Termasuk, di tengah adanya tantangan baru seperti menurunnya kelas menengah di Indonesia dan deflasi.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah masyarakat kelas menengah terus menurun. Pada 2019, jumlah kelas menengah mencapai 57,33 juta jiwa. Namun, pada 2024, jumlah kelas menengah semakin turun menjadi 47,85 juta jiwa. 

Tak hanya itu, Indonesia juga tercatat mengalami deflasi selama empat bulan berturut-turut, dari Mei hingga Agustus 2024. Pada Agustus 2024, deflasi sebesar 0,03 persen terjadi secara bulanan (month-to-month/mtm). Sementara itu, secara tahunan (year-on-year/yoy), terjadi inflasi 2,12 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,06.

"Tren pertumbuhan pembiayaan yang tetap terjaga dan memberikan sinyal bahwa industri multi finance dan peer to peer lending tetap memiliki kemampuan dalam memitigasi risiko penurunan daya beli masyarakat," kata Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan OJK, Agusman.