Marak PHK dan Daya Beli Melemah, Kebijakan Lintas Sektor Dinilai Diperlukan
- ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Jakarta, VIVA – Gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai industri di Indonesia masih terjadi sejak awal 2024, bahkan lebih besar. Kebijakan lintas sektor dinilai diperlukan.
Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Liliek Setiawan mengatakan, jumlah kasus PHK di lapangan kemungkinan lebih besar dari angka yang dicatat oleh Kementerian Tenaga Kerja. Berdasarkan data API, per awal Agustus 2024, sekitar 15 ribu buruh terkena PHK akibat penutupan 10 pabrik tekstil di wilayah Jawa Tengah, termasuk Ungaran, Karanganyar, dan Boyolali.
Liliek menyebut banyak perusahaan yang kesulitan bertahan karena serbuan barang impor, yang menyebabkan produk dalam negeri kalah bersaing di pasar sendiri.
“Segala upaya dilakukan melalui efisiensi, tapi akhirnya banyak yang tutup usaha,” katanya dikutip dalam keterangan tertulis, Kamis, 12 September 2024.
Data dari Kementerian Tenaga Kerja mencatat bahwa jumlah pekerja yang terkena PHK sepanjang Januari hingga Agustus 2024 meningkat sebesar 23,72 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Jika pada 2023 terdapat 37.375 pekerja yang kehilangan pekerjaan, angka tersebut melonjak menjadi 46.240 pada 2024.
Provinsi dengan jumlah PHK terbesar sepanjang semester pertama 2024 adalah DKI Jakarta, dengan 7.469 pekerja terkena dampak. Diikuti oleh Banten (6.135 pekerja), Jawa Barat (5.155 pekerja), Jawa Tengah (4.275 pekerja), Sulawesi Tengah (1.812 pekerja), dan Bangka Belitung (1.527 pekerja).
PHK yang terjadi sebagian besar dipicu oleh krisis di berbagai lini pada sektor manufaktur.
Sementara itu, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam menyatakan bahwa pelemahan industri manufaktur juga diperparah oleh melemahnya daya beli masyarakat.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang 2023 hanya mencapai 4,82 persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 4,94 persen. Penurunan daya beli ini menyebabkan permintaan terhadap produk manufaktur menurun drastis, memaksa banyak perusahaan untuk melakukan efisiensi dan PHK.
Selain itu, Bob menjelaskan bahwa ketidakpastian politik selama masa transisi pemerintahan juga membuat investor enggan menanamkan modal mereka, yang pada akhirnya memperlambat pemulihan sektor industri. Penurunan Purchasing Managers' Index (PMI) ke level 48,9 pada Agustus 2024 menjadi indikator nyata pelemahan sektor manufaktur di Tanah Air.
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Indonesia Labor Institute, Andy William Sinaga menjelaskan bahwa peningkatan PHK di Indonesia tidak lepas dari dampak ketidakstabilan geopolitik internasional serta pelemahan ekonomi global dan nasional.
Ketatnya persaingan dengan negara-negara seperti Tiongkok, Kamboja, dan Vietnam yang menerapkan kebijakan low cost production menjadikan produk Indonesia sulit bersaing di pasar internasional karena kebijakan produksi murah dari negara lain, yang menyebabkan permintaan menurun dan perusahaan-perusahaan di Indonesia terpaksa melakukan efisiensi, termasuk PHK.
Dalam menghadapi gelombang PHK yang masif, Indonesia Labor Institute mendorong implementasi Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai solusi bagi pekerja yang terdampak. Andy mengingatkan pentingnya sinergi antara BPJS Ketenagakerjaan dan Kementerian Ketenagakerjaan dalam menjalankan program ini.
"Kami mengimbau BPJS Ketenagakerjaan dan Kemnaker segera bersinergi dan bertindak agar program JKP dapat tepat sasaran. JKP harus menjadi solusi yang tepat bagi para pekerja yang terkena PHK," tegasnya.
Andy juga menekankan perlunya penyediaan fasilitas pelatihan kerja dan kemudahan transformasi kepesertaan Jamsostek agar perlindungan sosial bagi pekerja tetap berjalan.