Hilirisasi dan Digitalisasi Jadi Penentu Ketahanan Pangan-Energi
- VIVA.co.id/Anisa Aulia
Jakarta, VIVA – Upaya pemerintah mendorong hilirisasi dan digitalisasi merupakan langkah strategis untuk membantu mewujudkan ketahanan pangan, kesehatan, dan energi. Ini menjadi syarat utama untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Hal tersebut disampaikan Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Novyan Bakrie, saat berbicara dalam Investortrust CEO Forum, di Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2024.
"Jadi, kami di dunia usaha, fokusnya bagaimana industrialisasi ini terjadi. Tujuannya ada di tiga, yaitu food security (ketahanan pangan), health security (ketahanan kesehatan), dan energy security (ketahanan energi). Tiga hal yang dicita-citakan seluruh bangsa di dunia itu dapat dengan mudah diwujudkan melalui hilirisasi dan digitalisasi,” katanya.
Sektor industri selama ini berperan aktif sebagai mesin pembangunan yang membawa dampak turunan. Antara lain meningkatnya nilai kapitalisasi modal, kemampuan menyerap tenaga kerja yang besar, serta kemampuan menciptakan nilai tambah dari komoditas ekspor.
Menurut Anindya, Indonesia membutuhkan kebijakan untuk mengoptimalkan sumber daya yang dimilikinya, khususnya sumber daya mineral. Nilai tambah dari cadangan mineral yang tersimpan dalam perut bumi Nusantara sudah seharusnya dinikmati oleh masyarakat Indonesia, alih-alih menguap begitu saja karena diekspor dalam bentuk bahan mentah.
“Hingar bingar nikel yang kita lihat sekarang itu hanya satu dari puluhan komoditas (sumber daya mineral) yang bisa diolah. Kalau mengolah itu kan diperlukan investasi dan mudah-mudahan seperti yang kejadian di stainless steel (baja nirkarat) bisa kita ekspor bahkan menjadi salah satu yang terbesar di dunia,” ujarnya.
Selain sumber daya mineral, Anindya mengungkapkan, Indonesia juga memiliki potensi dari energi baru terbarukan yang harus dioptimalkan. Menurut analisis dari International Renewable Energy Agency (Irena), potensi energi terbarukan Indonesia diperkirakan dapat mencapai 3.692 gigawatt (GW), termasuk potensi dari tenaga surya, angin, air, biomassa, panas bumi, arus laut, dan lain sebagainya.
“Ini bisa dilakukan sambil menjaga keberlanjutan lingkungan hidup. Jadi, kalau saya selalu bilang Indonesia ini bisa menjadi the maker of decarbonization (produsen dekarbonisasi) bukan hal yang muluk-muluk,” ujarnya.
Upaya tersebut didukung oleh keanekaragaman hayati yang berperan sebagai penyimpan karbon, sehingga memberikan nilai tambah bagi Indonesia yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk menggenjot industrialisasi.
Digitalisasi
Sementara itu, digitalisasi, menurut Anindya, menjadi senjata untuk meningkatkan nilai tambah dari industri yang sudah dikembangkan di Indonesia. Dia memberikan contoh adalah jumlah transaksi dari sebuah bank yang melonjak berkali-kali lipat tanpa adanya penambahan tenaga kerja.
“Jumlah transaksinya melonjak dari ratusan ribu jadi ratusan juta, itu tidak mungkin tidak bisa dilaksanakan tanpa digitalisasi,” tegasnya.
Menurutnya, digitalisasi tidak hanya soal implementasi teknologi untuk mempermudah pekerjaan atau menyelesaikan suatu masalah. Lebih dari itu, digitalisasi juga berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia.
Dia melihat bahwa kebijakan makan bergizi gratis yang dicanangkan oleh presiden terpilih Prabowo Subianto akan memberikan dampak positif terhadap upaya tersebut, khususnya dalam jangka panjang.