Banggar DPR Dorong Kemandirian Pangan dan Energi
- Dokumentasi DPR RI
Jakarta - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah memberikan catatan terkait Pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyampaikan Nota Keuangan RAPBN Tahun 2025 kepada DPR RI di Gedung Kura-Kura Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Jumat, 16 Agustus 2024.
Di antaranya pemerintah mengusulkan asumsi ekonomi makro; target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen, Inflasi 2,5 persen, suku bunga SBN 10 tahun 7,1 persen, nilai tukar rupiah Rp. 16.100 /USD, harga minyak mentah Indonesia 82 USD/barel, lifting minyak bumi 6000 ribu barel/hari, dan lifting gas 1.005 ribu barel setara minyak/hari.
“Pada pembahasan dengan Banggar DPR nanti, saya berharap pemerintah setuju target pertumbuhan tahun depan minimal 5,4 persen. Sebab itu angka moderat, dan menjadi modal kita tahap setahap mengembalikan angka pertumbuhan tinggi seperti masa lalu, kita pernah tumbuh 6-7 persen, seperti yang diharapkan Presiden (terpilih) Prabowo Subianto. Namun sejak krisis moneter 1998, pertumbuhan ekonomi kita tertahan di 5 persenan hingga kini,” kata Said di Jakarta.
Said memperkirakan Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed akan menurunkan suku bunga, sehingga nilai tukar (kurs) rupiah bisa dipatok lebih rendah. Untuk itu, ia berharap bauran kebijakan pembayaran valas juga bisa lebih beragam sehingga ketergantungan terhadap USD bisa dikurangi.
“Demikian halnya dengan suku bunga SBN bisa kita dorong lebih rendah, sebab kita sudah menghadapi beban bunga utang yang semakin tinggi, dan tertinggi di ASEAN. Idealnya suku bunga SBN bisa di level 6,7 persen,” ujar Politisi PDI Perjuangan (PDIP) ini.
Menurut dia, dari sisi kebijakan fiskal, ke depan hendaknya pemerintah lebih fokus pada program-program yang lebih urgen di tengah kondisi fiskal yang terbatas. Beberapa agenda kebijakan strategis yang perlu ditopang oleh kebijakan fiskal tahun depan seperti program kemandirian pangan, program kemandirian energi, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), dan infrastruktur.
Sejak 2014 sampai 2023, kata dia, jumlah kumulatif impor beras nasional mencapai 8,95 juta ton beras. Kalau kita hitung, 2019-2023 nilai impor beras nasional mencapai 1,95 miliar USD, dan impor gula juga tidak kalah fantastis. Tahun lalu saja impor gula mencapai 5,07 juta ton dengan nilai 2,88 miliar USD. Komoditas lainnya seperti kedelai, susu, jagung, daging sapi, sayuran, buah semuanya impor.
“Kita perlu program kemandirian pangan yang lebih fokus, yakni mendorong pangan pokok agar tidak bertumpu pada beras, sebab kita memiliki keanekaragaman pangan pokok yang beragam; umbi, sagu, dan sorgum. Program teknologi pangan harus mendorong tumbuhnya industrial farming, optimalisasi lahan tidak produktif, serta meningkatkan hasil laut sebagai kekayaan pangan masa depan yang lebih sehat,” jelas dia.
Selain itu, Said mengatakan dalam jangka pendek bahwa transformasi energi yang bersandar ke minyak bumi, termasuk LPG harus digeser ke listrik. Sebab, Said menyebut Indonesia memiliki produksi listrik yang besar dan ditopang oleh suplai batu bara yang memadai.
“Namun, kebijakan energi tidak boleh terhenti di listrik, sebab transformasi pembangkit listrik PLN tidak boleh hanya bertumpu pada PLTU,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Said mengatakan bauran kebijakan energi baru dan terbarukan kedepan harus lebih progresif. Pada tahun 2015, bauran energi terbarukan masih 4,9 persen. Sedangkan, tahun 2022 itu bauran energi terbarukan mencapai 12,3 persen. Meskipun tumbuh baik, namun butuh lompatan yang lebih besar, karena itu dibutuhkan kebijakan afirmasi.
“Idealnya proporsi bauran energi baru dan terbarukan lima tahun kedepan minimal mencapai 30 persen,” kata Said.
Di samping itu, Said mengungkap bahwa tenaga kerja Indonesia yang bekerja saat ini berjumlah 142,1 juta. Ironisnya, kata dia, 54,6 persen di antaranya merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke bawah. “Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja kita terserap di sektor informal. Dengan demikian, kita belum mendapatkan manfaat maksimal dari bonus demografi,” ungkap Said.
Bahkan, kata dia, Index Pembangunan manusia di Indonesia masih peringkat 6 ASEAN, dibawah Singapura, Brunai, Malaysia, Thaiand dan Vietnam. Balita, lanjut dia, sebagai generasi masa depan kita masih mengalami prevalensi stunting sebanyak 21 persen.
“Afirmasi untuk memperbaiki kualitas SDM sebagai daya saing utama harusnya jadi perhatian utama kedepan. Setidaknya, ke depan index pembangunan manusia kita bisa melampaui Vietnam, Thailand, dan Malaysia,” katanya lagi.
Kemudian, Said juga mendorong kebijakan fiskal harus penguatan program infrastruktur, terutama infrastruktur yang menopang ketiga program di atas. Dengan demikian, belanja infrastruktur bisa lebih fokus. “Apalagi kita tidak memiliki ruang fiskal yang longgar karena tergerus berbagai kewajiban mandatori, subsidi, dan kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang,” pungkasnya.