Dampak Inflasi Pembatasan BBM Bersubsidi Kendaraan Pribadi Diproyeksi 0,37 Persen

SPBU kehabisan stok Bahan Bakar Minyak (BBM) solar bersubsidi Bio Solar
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Jakarta, VIVA – Rencana pembatasan pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi bagi kendaraan pribadi roda empat ketimbang untuk seluruh jenis kendaraan jadi sorotan. Skema ini dapat mengarahkan ulang subsidi yang tepat sasaran dan membuka ruang anggaran untuk mengadakan BBM rendah sulfur.

Hal ini disampaikan oleh peneliti senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Ishak Razak. Menurut dia, skema ini lebih tepat dibanding penghapusan subsidi secara menyeluruh, yang akan menghasilkan inflasi sebesar 5,3 persen.

“Bila penyesuaian diberlakukan pada kendaraan penumpang pribadi yang mengonsumsi 43,1 persen BBM bersubsidi, dampak inflasinya sekitar 0,37 persen,” ujar Ishak di Jakarta, dikutip Kamis, 15 Agustus 2024.

Ishak menjabarkan, saat ini populasi kendaraan penumpang pribadi sebanyak 29,7 juta unit. Sementara, jumlah populasi sepeda motor dan kendaraan umum yang sebanyak 113,8 juta unit mengkonsumsi 53,9 persen BBM bersubsidi.

Pembatasan BBM Bersubsidi

Photo :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

Dia menambahkan,10 persen rumah tangga ekonomi terbawah atau 250 juta orang di Indonesia mengeluarkan ongkos BBM sebesar Rp108.400 per bulan, sementara 10 persen teratas mengeluarkan Rp482.700 ribu per bulan.

Namun, menurut Ishak, lantaran pendapatan masyarakat terbawah terbatas, porsi pengeluaran BBM-nya mencapai 7 persen dari pendapatan, sementara penduduk paling kaya hanya 3,5 persen.“Pengeluaran rumah tangga miskin dua kali lipat dibandingkan penduduk kaya,” ujar Ishak.

Penyesuaian subsidi BBM, ujar Ishak, tentu akan memperlebar ruang fiskal pemerintah, sehingga memungkinkan adanya realokasi anggaran untuk pembelanjaan lain seperti untuk infrastruktur, pembiayaan kesehatan, pendidikan, dan lainnya. “Bisa juga untuk penyertaan modal negara kepada BUMN. Secara ekonomi akan ada manfaatnya,” kata Ishak.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel Ahmad Safrudin sependapat. Menurut dia, subsidi harus disesuaikan agar bisa diakses oleh orang-orang yang layak memperoleh BBM bersubsidi, terlebih lagi yang kualitasnya sudah ditingkatkan.

“Otomatis, kelompok masyarakat golongan menengah-atas tidak berhak atas subsidi, dan harus bersedia menerima harga BBM yang lebih mahal karena adanya incremental cost atau biaya tambahan,” ujar dia.

Ahmad berpendapat, Pemerintah harus cermat memastikan agar penyesuaian harga BBM tepat sasaran dan menghasilkan dampak inflasi yang minim. Pemerintah juga harus mengambil langkah antisipasi untuk mengurangi dampak inflasi.

“Misalnya, melalui pembagian bantuan sosial,” ujarnya.

Selaras, Ishak menekankan pemerintah harus turut menyediakan jaring pengaman sosial yang dapat meredam dampak inflasi.“Terutama untuk masyarakat menengah bawah, dan kelompok yang sebelumnya belum tersentuh bantuan sosial,” katanya.

Dia juga menilai pemerintah harus meningkatkan kapasitas kilang minyak, agar di masa depan dapat memproduksi BBM rendah sulfur di dalam negeri.

Ilustrasi pengisian BBM

Photo :
  • Istimewa

Lebih lanjut Ahmad menyampaikan, penyesuaian subsidi untuk menyediakan BBM rendah sulfur untuk peningkatan kualitas udara sejalan dengan kebijakan pemerintah meningkatkan standar bahan bakar.

Pada 2017, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor 20 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, dan Kategori O.

Peraturan ini mengatur adopsi standar EURO IV untuk bahan bakar kendaraan, salah satunya tingkat sulfur yang rendah. Ahmad menyampaikan, hal tersebut salah satu dari lima langkah untuk menekan emisi dari transportasi.

Selain itu ada peningkatan teknologi kendaraan, pembenahan lalu lintas dan transportasi publik, penerapan insentif/disinsentif, dan penegakan hukum.