Bos BI Ungkap Suku Bunga Acuan Mestinya Turun 2 Bulan Lalu Tapi Ditahan, Ini Pertimbangannya

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, di acara Festival Ekonomi Keuangan Digital dan Karya Kreatif Indonesia (FEKDI x KKI) di JCC Senayan, Jakarta, Kamis, 1 Agustus 2024
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya

Jakarta, VIVA – Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengatakan, seharusnya suku bunga acuan alias BI Rate sudah turun sejak dua bulan lalu, namun terpaksa harus ditahan di level 6,25 persen.

Hal itu karena inflasi yang menjadi salah satu faktor untuk menurunkan suku bunga acuan itu, masih berada di level yang rendah. Di mana pada Juli 2024, inflasi Indonesia berada di level 2,42 persen dan inflasi inti di level 1,9 persen.

"BI Rate kenapa dalam dua bulan kemarin kami tahan padahal mestinya turun? Karena ditentukan oleh proyeksi inflasi ke depan, yang ternyata tahun ini masih rendah dan tahun depan pun masih rendah," kata Perry dalam konferensi pers 'Hasil Rapat Berkala KSSK III Tahun 2024', di Kantor Pusat LPS, Jakarta, Jumat, 2 Agustus 2024.

Namun, Perry mengatakan bahwa alasan lain kenapa BI belum bisa menurunkan suku bunga acuan, yakni karena harus menjaga stabilitas keuangan dari masalah ekonomi global. Salah satu yakni masalah utang luar negeri negara-negara maju seperti AS dan Eropa, yang diperkirakan masih akan terus naik.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo

Photo :
  • VIVA.co.id/Anisa Aulia

Dia menjelaskan, besarnya utang luar negeri AS akan berpengaruh pada US Treasury Note (tenor 2 tahun) dan US Treasury Bond (tenor lebih panjang). Di sisi lain, Bank Sentral AS The Federal Reserve (The Fed) disebut-sebut juga akan memangkas suku bunga acuannya pada September mendatang.

Dengan kemungkinan pemangkasan suku bunga tersebut, Perry memperkirakan suku bunga US Treasury Note juga akan turun lebih cepat. Sementara US Treasury Bond masih akan tinggi dan kemungkinan akan meningkat.

"Yang juga mempengaruhi keluarnya modal dari negara maju, termasuk yang terjadi di Indonesia. Pada kuartal I dan kuartal II (asing banyak menjual SBN), dan mempersulit bagaimana BI melakukan kebijakan moneter dan fiskal," ujar Perry.

Gedung Bank Indonesia.

Photo :
  • VIVA/Andry Daud

Dengan demikian, lanjut Perry, BI pun langsung melakukan intervensi dengan memborong rupiah dan valas di pasar spot, untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Meski demikian, langkah itu dinilai tidak cukup, karena di kuartal I-2024 asing menarik modalnya di SBN sebanyak US$1,82 miliar.

Karenanya, BI pun memperkuat instrumen investasi baru, yaitu Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang diluncurkan pada September 2023. Sehingga, pihak bank bisa menggunakan dana pihak ketiga (DPK) untuk membeli SRBI dengan tenor yang cepat 6,9, dan 12 bulan, serta bunga yang lebih tinggi dibandingkan SBN.

"Jadi, dari kebijakan APBN memang belum perlu naikkan lelang SBN, karena itu SRBI kami dorong," ujarnya.