Harga Tiket Pesawat Mahal, Asosiasi Maskapai Ungkap Sederet Monopoli di Bisnis Penerbangan RI

Ilustrasi maskapai penerbangan
Sumber :
  • VIVA/Mohammad Yudha Prasetya

Jakarta – Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) menyoroti soal adanya monopoli dalam bisnis penerbangan nasional. Karena itulah terjadi pengaturan harga oleh satu pihak dan tidak terjadi persaingan usaha yang sehat. 

Ketua Umum INACA, Denon Prawiraatmadja menjelaskan, beberapa monopoli yang saat ini terjadi di antaranya monopoli penyedia avtur di bandara, monopoli pengelolaan bandara oleh pemerintah baik melalui BUMN maupun BLU dan UPBU Kementerian Perhubungan, serta monopoli operasional penerbangan dari maskapai atau grup maskapai tertentu.

"Agar tercipta iklim usaha dan persaingan usaha yang sehat, monopoli tersebut harus diminimalisir atau dihilangkan," kata Denon dikutip dalam keterangan tertulis, Rabu, 17 Juli 2024.

Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA), Denon Prawiraatmadja, di acara Indonesia Aero Summit 2024, kawasan Pecenongan, Jakarta Pusat, Selasa, 2 Juli 2024

Photo :
  • VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya

Menurutnya, salah satu contoh upaya meminimalisir monopoli operasional penerbangan adalah pengelolaan slot penerbangan yang lebih baik, yang harus berdasarkan azas keadilan bagi maskapai dan kekuatan pasar.

Jarak waktu slot antar maskapai harus diperhatikan, agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat. Pengelola slot harus menjalankan aturan dengan tegas, sehingga maskapai mematuhi aturan yang berlaku. "Slot yang tidak terpakai dalam jangka tertentu harus segera ditarik dan diisi oleh maskapai lain," ujarnya.

Upaya Pemerintah Turunkan Biaya Penerbangan Disambut Baik

Denon pun menegaskan bahwa INACA pun menyambut baik upaya pemerintah untuk menurunkan biaya-biaya dalam industri penerbangan nasional. Diharapkan maskapai mendapat margin keuntungan dari operasionalnya, sehingga dapat menyelenggarakan operasional penerbangan dengan baik.

"Saat ini biaya-biaya penerbangan sangat tinggi, melebihi tarif tiket yang telah ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 2019. Akibatnya maskapai rugi, dan mengoperasikan penerbangan untuk sekedar dapat hidup dan tidak dapat mengembangkan usahanya," kata Denon.

Menurutnya, biaya-biaya tinggi yang berasal dari operasional maupun non-operasional penerbangan harus dikurangi atau dihilangkan. Misalnya seperti harga avtur yang lebih tinggi dibanding negara tetangga, dan adanya antrean pesawat di darat untuk terbang dan di udara untuk mendarat yang berpotensi memboroskan bahan bakar.

Lalu ada pula biaya kebandarudaraan dan layanan navigasi penerbangan, dan lain sebagainya. Sedangkan biaya tinggi dari non-operasional penerbangan misalnya adalah adanya berbagai pajak dan bea masuk yang diterapkan secara berganda.

"Saat ini pajak dikenakan mulai dari pajak untuk avtur, pajak dan bea untuk pesawat dan sparepart seperti bea masuk, PPh impor, PPN dan PPN BM spareparts, sampai dengan PPN untuk tiket pesawat. Dengan demikian terjadi pajak ganda. Padahal di negara lain pajak dan bea tersebut tidak ada," ujarnya.