Prabowo Bakal Bentuk 41 Kementerian, Ekonom Sebut Bisa Bebani Belanja Rutin Pemerintah

Prabowo-Gibran di Penetapan Presiden-Wapres Terpilih di KPU
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

Jakarta – Rencana Presiden terpilih Prabowo Subianto yang dikabarkan bakal membentuk 41 kementerian dalam kabinet pemerintahannya mendapat kritik dari kalangan ekonom. Jumlah kementerian itu berarti naik sebanyak 7 kementerian, dari 34 menteri yang berada di era Presiden Joko Widodo saat ini.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti menegaskan, dengan kabinet ‘gemoy’ atau membengkaknya jajaran menteri di kabinet Prabowo tersebut, maka itu tentunya akan ikut membebani anggaran belanja negara.

"Karena kalau makin gemoy (gemuk) kabinet, maka makin besar belanja rutinnya. Jadi sebaiknya bentuk kabinet yang ramping-ramping saja," kata Esther dalam diskusi 'Dilema Kabinet Prabowo dalam Bingkai Koalisi Besar', Kamis, 11 Juli 2024.

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti

Photo :
  • VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya

Dia mencontohkan, dalam lima tahun terakhir saja, sebanyak 34 menteri yang ada di kabinet Jokowi saat ini telah membuat porsi belanja pegawai mendominasi belanja rutin pemerintah.

"Dan porsi (belanja pegawai) itu justru menjadi yang terbesar, jika dibandingkan dengan belanja modal yang justru sangat bermanfaat bagi perekonomian secara nasional," ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin. Dia menilai, jumlah Menteri yang sedikit dalam sebuah kabinet kerja, justru merupakan indikasi yang kuat dari efektifnya roda pemerintahan.

Karena dari jumlah 34 kementerian yang ada di Indonesia saat ini, jumlah itu masih lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah kementerian di negara-negara lain. Misalnya seperti di India yang hanya sebesar 31 kementerian, China 24 kementerian, Thailand 21 kementerian, Korea Selatan 19 kementerian, Vietnam dan Singapura 18 kementerian, dan bahkan Amerika Serikat yang hanya 14 kementerian.

"Jadi negara-negara yang jumlah menterinya banyak, itu justru pemerintahannya tidak efektif. Dan dalam hal ini tidak ada korelasi antara jumlah menteri dalam kabinet dengan sistem pemerintahan (parlementer/presidensial) dan bentuk negara (federal/kesatuan)," ujarnya.