4 Krisis Ekonomi yang Hantui Pemerintahan Prabowo-Gibran
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta – Kalangan ekonom menyebut bahwa pemerintahan Prabowo Subianto mendatang bakal mewarisi beban perekonomian yang cukup berat, dengan empat potensi krisis yang bisa terjadi di era pemerintahannya.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan, potensi krisis pertama adalah krisis fiskal, yang tercermin dari debt service ratio 2025 yang mencapai 43,4 persen. Sehingga, hampir 50 persen penerimaan negara nantinya hanya akan digunakan untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang.
"Kemudian rasio pajak juga bisa stagnan akibat masalah struktural, sehingga pemerintahan ke depan akan semakin bergantung dengan surat berharga negara (SBN) berbunga tinggi dengan bunga pasar saat ini mencapai 7,2 persen. Jadi mau tidak mau kita sudah terjebak dalam utang," kata Wijayanto dalam diskusi 'Dilema Kabinet Prabowo dalam Bingkai Koalisi Besar', di Jakarta, dikutip Jumat, 12 Juli 2024.
Krisis kedua yakni krisis industri, yang terlihat dari anjloknya peran industri manufaktur terhadap PDB. Di mana hal itu hanya sebesar 18 persen dari PDB, atau turun dari 22 persen pada medio 2010-an silam.
Terlebih, saat ini banyak pengusaha yang mengeluhkan abainya pemerintah akan kondisi tersebut, yang akhirnya mempengaruhi daya saing produk-produk asal Indonesia dibandingkan dengan produk negara lain. Hal itu banyak menyebabkan pengusaha lokal justru hanya menjadi agen atau distributor dari produk-produk luar seperti dari China, dibandingkan upaya untuk mengembangkan produksinya di dalam negeri.
"Ini nama-nama (pengusaha) besar yang cerita ke saya seperti itu. Makanya kita lihat pabrik tekstil atau garmen tutup, dan ini akan terus terjadi. Karena mindset tersebut juga terus terjadi di kalangan para pengusaha besar," ujarnya.
Kemudian krisis ketiga adalah krisis lapangan kerja, dimana saat ini terdapat 10 juta Gen Z yang menganggur sehingga pemerintah gagal memanfaatkan bonus demografi. Padahal sebelum era Presiden Jokowi, pekerja yang bekerja di sektor informal hanya 40 persen. Namun saat ini jumlahnya melonjak menjadi 70 persen.
Hal itu seiring dengan enggannya kalangan pengusaha untuk melakukan ekspansi, dan justru banyak melakukan efisiensi dengan melakukan banyak PHK kepada para pekerjanya. "Karena para pekerja informal sebenarnya mereka nganggur, namun tetap mencoba beraktivitas untuk mencari penghidupan," kata Wijayanto.
Krisis keempat yakni krisis mata uang Rupiah. Dimana berdasarkan data secara year-on-year (yoy) per 8 Juli 2024, tercatat bahwa dalam setahun terakhir pelemahan yang terjadi pada mata uang Garuda telah mencapai 81,28 persen terhadap mata uang dunia.
"Kalau karena krisis global, rupiah hanya melemah sebanyak 50 persen. Tapi ini kita melemah 80 persen lebih. Artinya, problemnya ada di kita, yakni masalah struktural dan fundamental," ujarnya.