Industri Plastik dan Tekstil RI Digempur Barang Impor, Daya Saing Produk Lokal Kian Melemah
- VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya
Jakarta – Ketua Asosiasi Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono mengatakan, saat ini produk-produk turunan industri petrokimia seperti industri plastik dan tekstil, tengah digempur oleh impor dari luar negeri. Hal itu bahkan disebut sampai berdampak pada nilai tambah industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) RI, yang terus anjlok dalam beberapa waktu terakhir.
Misalnya pada tahun 2022, dimana nilai tambah industri manufaktur terhadap PDB hanya berada di level 18,3 persen, atau turun jauh dari tahun 2002 silam yang berada di level 32 persen.
"Hal ini akan terus memperlemah daya saing dalam negeri terhadap demand," kata Fajar dalam diskusi 'Permendag No 8 Tahun 2024, Wujud Nyata Denormalisasi Industri Petrokimia Nasional', di kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin, 8 Juli 2024.
Penurunan permintaan itu membuat produksi barang jadi di dalam negeri pun ikut anjlok, meskipun impor bahan baku plastik tercatat naik signifikan. Karenanya, Fajar menekankan perlunya inovasi dan strategi, agar permintaan di dalam negeri bisa dipenuhi dengan pasokan hasil produksi lokal.
Nahasnya, kondisi yang lebih buruk diakui Fajar juga turut menimpa industri tekstil dan produk tekstil (TPT), dibandingkan industri turunan petrokimia lainnya. Hal itu karena serbuan yang sangat masif dari membanjirnya produk impor, mulai dari bahan baku tekstil (polyester) sampai ke pakaian jadi.
"Bahkan industri tekstil kita, utamanya polyester juga terus tertekan oleh produk-produk impor. Apalagi bahan baku industri TPT-nya juga sudah kena dari barang-barang impor," ujarnya.
Hal itu belum termasuk industri Aromatik dan turunannya, yang juga tengah merana akibat serbuan produk-produk impor. Karena pada dasarnya, industri Aromatik yang merupakan salah satu industri turunan tekstil, nyatanya juga sudah babak belur sejak di sektor hulunya.
"Industri Aromatik dan turunnya ini kendalanya juga lumayan banyak, karena ini merupakan industri padat karya turunan dari tekstil. Sehingga saat ini mereka paling banyak kena dampaknya, akibat membanjirnya impor barang jadi sehingga sektor ke hulunya juga ikut berimbas," kata Fajar.
Karenanya, Fajar menegaskan bahwa pemerintah harus benar-benar memperhatikan jumlah impor yang masuk ke RI, untuk melindungi industri produksi plastik dan TPT agar masih bisa diselamatkan keberadaannya.
"Pemerintah harus memutuskan, apakah akan tetap mendukung industri tekstil yang saat ini mempekerjakan 3.5 juta orang. Karena industri tekstil merupakan industri padat karya, yang menyerap tenaga kerja paling besar di Indonesia," ujarnya.